TUGAS INDIVIDU
PENGANTAR FILSAFAT
JUDUL: BERFIKIR
MENURUT PANDANGAN ISLAM
DOSEN PENGAMPU : WIRA
SUGIARTO,S.IP.M.Pd.I
DISUSUN OLEH:
MUHAMMAD ROMSYAH
SEMESTER III D PAI
JURUSAN TARBIYAH DAN KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
( STAIN ) BENGKALIS
2015 M/ 1436 H

NAMA : MUHAMMAD ROMSYAH
Tempat Tanggal Lahir : Pematang
Duku, 02 Februari 1994
ALAMAT : Jl.Makmur
RT 01 RW 05 Dusun Kembung Dalam
Desa
Pematang Duku Kec.Bengkalis Kab.Bengkalis
Perguruan Tinggi : SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
(
STAIN BEGKALIS )
NIM :
KATA PENGANTAR
Assalamu`alaikum, Wr. Wb
Puji dan syukur pemakalah ucapkan
kepada Allah SWT. Karena berkat limpahan Rahmat dan Hidayah serta petunjuk-Nya,
Penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis ini
yang membahas tentang “BERFIKIR MENURUT PANDANGAN ISLAM”.
Shalawat dan salam buat Nabi besar
Muhammad SAW yang merupakan sosok yang dapat ditauladani dari berbagai hal
kehidupan, sehingga perjalanan hidupnya dijadikan sejarah oleh manusia untuk pedoman
hidup bagi umatnya.
Dan tak lupa ucapan terima kasih
pemakalah kepada Dosen pembimbing dalam mata kuliah Pengantar
Filsafat, Orang Tua yang selalu memberikan motivasi, Teman-teman, serta semua
pihak yang telah mendukung dalam proses pembuatan makalah ini.
Terakhir, Penulis sadar bahwa,
banyak kekurangan dalam Karya Tulis ini, hal ini karena kurangnya sumber
rujukan dan kurangnya Ilmu yang Penulis miliki. Maka Saya sangat mengharapkan
kritikan dan saran dari pembaca yang bersifat membangun untuk Tugas yang akan
datang.
|
|
Bengkalis,
Desember ,2015
|
|
|
PENULIS
|
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................................
i
DAFTAR
ISI......................................................................................................................
ii
BAB
I PENDAHULUAN..................................................................................................
1
A. Latar Belakang.............................................................................................................
1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................
1
C. Tujuan...........................................................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................
2
A. Pengertian Akal dan pikiran.........................................................................................
2
B. Konsep berfikir.............................................................................................................
4
C.
Jaminan Kebebasan Berfikir Dalam
Islam....................................................................
6
D.
Hakikat
Berfikir Menurut Pandangan Islam................................................................
8
BAB III PENUTUP...........................................................................................................
14
Kesimpulan....................................................................................................................
14
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................
15
E.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Otak manusia yang terkandung di
dalamnya berbillion neoron itu adalah satu ciptaan yang sangat ajaib. Otak
manusia, bukan seumpama bekas pada dunia dimensi ketiga; makin diisi makin
penuh, tapi ia adalah ciptaan yang sangat luar biasa; makin diisi makin bertambah
ruangnya. Otak dicipta sebegitu rupa, dengan dua hemisfera kanan dan kiri
dengan peranan yang berbeza. Ia terletak di atas, tidak di tengah atau di bawah
menunjukkan betapa pentingnya otak untuk dieksploitasi. Itulah otak yang
berperanan sebagai akal untuk berfikir, menaakul, menganalisis, melakukan
komparatif, dan menginterpretasi setiap maklumat yang diterima daripada
pancaindera; mata yang melihat dan membaca, telinga yang mendengar, hidung yang
mencium, mulut yang merasa, kulit yang menyentuh. Allah menciptakan manusia.
Allah menganugerahkan akal dengan kebolehan dan fungsinya untuk berfikir dan
memahami.
Mari kita lihat pesanan-pesanan
Pencipta kita di dalam al-Quran tentang akal: Firman Allah: ``Sesungguhnya
pendengaran dan penglihatan serta hati (akal), semua anggota-anggota itu tetap
akan ditanya tentang apa yang dilakukannya.'' (Al-Isra: 36). Firman Allah lagi:
``Oleh itu, bukankah ada baiknya mereka mengembara di muka bumi supaya mereka
menjadi orang-orang yang ada hati (akal) yang dengannya mereka dapat memahami,
atau ada telinga yang dengannya mereka dapat mendengar?'' (Al-Hajj: 46)
Begitu sekali Allah mahukan kita
menggunakan akal kita untuk memahami dan berfikir tentang ciptaan-Nya. Banyak
lagi ayat lain yang menegaskan bahawa umat Islam perlu menjadi umat yang
berfikir. Di dalam al-Quran, terdapat 49 perkataan `aqala yang bermaksud fikir,
selain penggunaan-penggunaan perkataan ulul-albab dan ulul-nuha untuk para ahli
fikir. Begitu sekali pentingnya budaya berfikir dan menganalisis. Secara
fitrah, Manusia dan Hewan sama-sama mempunyai kemampuan persepsi indrawi. Akan
tetapi, Allah SWT menganugerahkan juga akal kepada manusia. Dengan akal itulah
manusia dapat melampaui segala sesuatu yang dapat dipersepsi. Manusia dapat
memikirkan pengertian-pengertian yang abstrak. Misalnya tentang kebaikan dan
keburukan, keutamaan dan kehinaan serta kebenaran dan kebatilan. Hanya saja,
kemampuan akal manusia dalam persepsi dan pengetahuan itu terbatas.
Dewasa
ini, Islam sering dikaitkan dengan segala nisbah keburukan yang tidak terfikir
oleh akal yang waras. Usaha ini pada mulanya telah disebarkan oleh sarjana dan
media barat dan apa yang paling dikesalkan ia telah turut disokong kuat oleh
kalangan sarjana dan pemerintah umat Islam sendiri. Di Malaysia sendiri,
fenomena ini telah mula dirasakan pengaruhnya apabila baru-baru ini telah
diadakan suatu wacana ilmiah dengan menjadikan tema penutupan minda umat Melayu
Islam sebagai asas perbincangan utama . Seperti dijangkakan, di dalam wacana
ini terdapat beberapa suara sumbang dari pembentang yang mengaitkan kemunduran
umat Melayu hanya kerana ajaran Islam semata-mata. Hal ini telah diungkap
dengan cukup baik oleh Sidek Fadzil, dengan katanya; “ gejala-gejala
ketertutupan minda memang ada. Tetapi dalam banyak paparan ia selalu
diperlihatkan sebagai masalah eksklusif golongan Islamik. Padahal ia wujud
dimana-mana, termasuk dalam kalangan kelompok yang menamakan diri sebagai
nasionalis. Sikap alergik terhadap apa-apa sahaja yang berbau Islam jelas
menayangkan hakikat bahawa mereka juga sebenarnya merupakan penderita penyakit
ketertutupan minda. Yang dipermasalahkan sebenarnya bukanlah ketertutupan itu
sendiri, tetapi ketertutupan terhadap kebenaran
B.
Rumusan
Maslah
1. Apa yang di maksud dengan akal dan fikiran?
2. Bagaimana Prespektif pberfikir menurut pandangan islam?
3. Apa saja konsep dari berfikir?
4. Bagaimana Jaminan berfikir bebas menurut pandangan Islam?
5. Bagaimana hakikat berfikir Menurut pandang Islam?
C.
Tujuan
1. Untuk Mengetahui maksud dari berfikir menurut pandangan
Islam
2. Untuk Mengetahuai Hakikat Berfikir Menurut pandangan
islam
3. Untuk Mengetahui Koneptual dalam berfikir
4. Untuk mengetahui Jaminan berfikir bebas dalam pandangan
Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akal dan Pikiran
Berfikir adalah gejala jiwa yang
dapat menetapkan hubungan-hubungan sesuatu yang menjadi ia tahu atau ssuatu
kegiatan yang melibatkan otak kita bekerja. Symbol-simbol yang digunakan dalam
berfikir pada umumnya adalah mengguanakan kata-kata, bayangan atau gambaran dan
bahasa. Namun, sebagian besar dalam berfikir orang kebanyakan lebih sering
menggunakan bahasa atau verbal kenapa, karena bahasa merupakan alat penting
dalam berfikir.Seperti yang diaparkan diatas yaitu dalam proses berfikir ada
konsep yang harus kita ketahui.
Berpikir
adalah sebuah aktivitas yang dimulai dari mendapatkan informasi atas sebuah
fakta melalui pancaindera, kemudian menghubungkannya dengan informasi yang
telah disimpan sebelumnya di dalam otak. Oleh karena itu, ada tiga hal
mendasar yang menentukan kualitasnya: (1) kualitas informasi fakta; (2)
informasi yang disimpan sebelumnya; (3) bagaimana menghubungkannya.
Untuk
mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita
harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa
literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara
lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan
akal dalam al-Quran.
Akal
dan pikiran merupakan karunia paling mulia yang diberikan Allah Swt kepada
manusia. Di
dalam Al-Quran, kata ‘aql tidak ditemukan dalam bentuk kata benda. Tetapi dalam
bentuk kata kerja, baik bentuk lampau (fī’l madhi) maupun sedang dan yang akan
datang ( fī’l mudhari ). Hal ini dapat dipahami bahwa akal haruslah berfungsi
karena yang bermakna bagi kehidupan adalah aktivitasnya. Orang yang tidak mau memfungsikan
akalnya dalam menalar berbagai peristiwa disekelilingnya dicela oleh Al-Qur’an.
Beberapa ayat dalam masalah ini dapat dibaca, Sebaliknya Al-Qur’an sangat
bersimpati kepada orang yang mau menggunakan akalnya untuk memikirkan fenomena
alam sebagai tanda kebesaran Allah. [1]
Kata akal berasal dari Bahasa Arab,
al-‘aql. Kata ini terambil dari kata ‘iqal (al-bā’ir) atau tali kencangan unta,
artinya mencegah orang berakal sehat untuk tidak lepas atau keluar dari jalur
yang benar .
Jurjani juga mengintroduksi berbagai
jenis akal, yaitu :
1.
al-‘aql
al-hayulani (akal materi),
2.
al-‘aql
bi al-malakah (akal potensi),
3.
al-‘aql
bi al-fi’l (akal aktual), dan
4.
al-aql
al mustafad (akal perolehan).
Untuk pemahaman lebih luas tentang
hal ini, lihat Harun Nasution Pemaknaan terhadap kata ‘aql ini sangat beragam,
namun Jurjani lebih menjelaskan bahwa yang tepat adalah bahwa akal itu
merupakan esensi tunggal yang memahami hal-hal bastrak melalui
perantara-perantara (mekanisme) tertentu dan mengetahui benda-benda kongkrit
melalui indra. Fungsi akal adalah menerima dan memproses berbagai
informasi yang diterima melalui alat-alat indra kemudian disimpan dan
dimunculkan kembali pada saat diperlukan. Fungsi ini dalam Psikologi dikenal
dengan istilah kognisi. Manusia mendapat anugrah dari Allah SWT berupa
kemampuan mengenal, mengetahui dan mengungkapkan kembali berbagai hal yang
diketahuinya. Kemampuan Adam a.s. mengungkapkan al-asma’ (nama-nama) atau nama
benda-benda yang telah ia ketahui melalui proses belajar merupakan kemampuan
kognisi yang tidak dimiliki oleh para malaikat.
Kognisi sebagai salah satu instrumen
yang menjadi modalitas bagi manusia memegang peran penting dalam kehidupan
manusia. Pengalaman-pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungan akal
disimpan didalam gudang memori untuk dijadikan bahan pengetahuan yang mungkin
dibutuhkan pada suatu waktu. Informasi yang tersimpan di dalam gudang memori
selamanya akan terendap disitu hingga suatu saat diperlukan dan dipanggil
kembali. Apa yang disebut ‘lupa’ sejatinya hanya ketidakmampuan kita menemukan
informasi itu ditempat penyimpanannya didalam gudang memori. Manusia dengan
berbagai upaya dapat meningkatkan kemampuannya mengingat berbagai informasi
(data) yang diperlukan dalam kehidupannya.[2]
Dari sekian banyak ayat yang
berbicara tentang fungsi akal pada manusia. Tampaknya akal tidak dulu memproses
informasi menjadi pengetahuan yang tersimpan di dalam memori, tetapi juga
memberikan dorongan moral kepada pemiliknya untuk melakukan kebaikan dan
menghindari keburukan. Menurut Qurais Shihab ,akal mempunya tiga daya
sebagaimana dapat dipahami dari penuturan ayat-ayat Al-Qur’an:
1.
Daya
untuk memahami dan menggambarkan sesuatu,
2.
Dorongan
moral (daya untuk mengikuti nilai-nilai moral), dan
3.
Daya
untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah.
Orang-orang yang tidak berpikir dan
menolak untuk menghamba kepada Tuhan, dipandang sebagai mahkluk yang lebih
buruk daripada binatang. Akal dalam pandangan al-Quran dan riwayat,
bukanlah semata-mata akal kalkulatif dan logika Aristotelian. Keduanya meski
dapat menjadi media bagi akal namun tidak mencakup semuanya.
Karena
itu, berulang kali al-Quran menyebutkan bahwa kebanyakan orang tidak berpikir,
atau tidak menggunakan akalnya,sementara kita tahu bahwa kebanyakan manusia
melakukan pekerjaannya dengan berhitung dan kalkulatif pada seluruh urusannya.
Memandang sama akal dan berpikir kalkulatif merupakan sebuah kesalahan epistemologis. Bahkan melakukan komparasi dan memiliki kemampuan berhitung semata-mata merupakan salah satu media permukaan akal yang lebih banyak berurusan pada masalah angka-angka dan kuantitas.
Memandang sama akal dan berpikir kalkulatif merupakan sebuah kesalahan epistemologis. Bahkan melakukan komparasi dan memiliki kemampuan berhitung semata-mata merupakan salah satu media permukaan akal yang lebih banyak berurusan pada masalah angka-angka dan kuantitas.
Namun
untuk mencerap realitas-realitas segala sesuatu, baik dan buruk, petunjuk dan
kesesatan, kesempurnaan dan kebahagiaan, dan lain sebagainya diperlukan cahaya
yang disebut sebagai sebuah anasir Ilahi yang terpendam dalam diri manusia.
Anasir ini adalah akal dan fitrah manusia dalam artian sebenarnya. Sebagaimana
sesuai dengan sabda Imam Ali As bahwa nabi-nabi diutus adalah untuk menyemai
khazanah akal manusia.Dalam Islam, akal dan agama adalah satu hakikat
tunggal dan sesuai dengan sebagian riwayat, dimanapun akal berada maka agama
akan selalu mendampingi, tidak ada jarak yang terbentang antara iman dan
kekurufan kecuali dengan kurangnya akal.[3]
Menggunakan
pikiran dan akal dapat digunakan di jalan benar dan tepat apabila
digunakan dalam rangka ibadah dan penghambaan. Imam Shadiq As ditanya
tentang apakah akal itu?” Imam Shadiq As menjawab, “Sesuatu yang dengannya Tuhan
disembah dan surga diraih.”Berdasarkan hal ini, harap diperhatikan, berpikir
dalam al-Quran tidak serta merta bermakna menggunakan akal yang dikenal secara
terminologis. Tatkala al-Quran menyeru untuk berpikir dan merenung dalam
rangka penghambaan yang lebih serta terbebas dari belenggu kegelapan dan kesilaman
jiwa, boleh jadi merupakan salah satu tanda berpikir dan berasionisasi.
Dalam
pandangan ini, kedudukan akal dan pikiran sedemikian tinggi dan menjulang
sehingga Allah Swt dalam al-Quran, tidak sekali pun menyuruh hamba-Nya untuk
tidak berpikir atau menempuh jalan secara membabi buta.[4]
B.
Konsep
Berfikir
Tentu tidak semua
berfikir menghasillkan kebangkitan. hanya proses berfikir yang hakiki saja yang
menghasilkan kebangkitan itu. Kadang seseorang tidak memperhatikan apakah yang
dilakukannya dalam berfikir merupakan hal yang esensi, prinsip, atau praktis.
Ketiganya tentu berbeda
1. Esensi
Pada hakikatnya seseorang berpikir secara esensi (inti) terlebih dahulu.
tanpa berpikit hal yang esensi maka tidak akan berujung pada kebenaran apalagi
kebangkitan. pemikiran yang esensi dalam kehidupan ini adalah untuk menjawab
sebuah pertanyaan dasar, "untuk apa kita berada di dunia ini?", Juga
pertanyaan aasasi "Dari mana asal kita dan mau kemana kita setelah
mati?", pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus dijawab. dari awal
pertanyaan tadi akan berkembang pemikiran esensial tersebut bahwa sesungguhnya
keberadaan kita di bumi ini adalah untuk mengabdi kepada Tuhan ala semesta ini.
keberadaan kita di muka bumi sebagai Khalifatullah. Oleh
karena itu, manusia sebelum berkiprah di dunia harus melakukan perenungan,
tafakur, dan berpikir mengenai hal yang esensi ini. dalam ajaran islam, hal
yang esensi adalah aqidah. keimanan terhadap Tuhan. keyakinan inilah yang
menjadi pendorong seseorang dalam berpikir dan bertindak selanjutnya. keimanan
juga menjadi dasar bagi setiap muslim dalam beraktivitas.
2. Prinsip
Setelh berpikir tentang hal yang esensi maka selanjutnya barulah kita
melangkah menuju suatu prinsip. sebuah prinsip berbeda dengan esensi. prinsip
adalah hal yang membatasi esensi. sesuatu yang esensi adalah sebuah inti. tanpa
suatu pembatas maka ia bukan lagi sebuah esensi (inti). pembatas dari inti
adalah suatu prinsip, jika esensi itu satu (karena ia adalah inti) makaprinsip
bisa beberapa (namun tidaklah banyak). Berpikir tentang hal-hal
prinsip juga penting. sebab hal itu menjadi penjabaran dari hal yang esensi.
seseorang yang berpikir dalam kerangka Islam, ia akan melihat masalah aqidah
adalah hal yang esensi. sedangkan rukun iman dan rukun Islam adalah prinsip yang
harus dijalankan. juga ilmu ushul fiqih (ilmu mengenai dasar agama Islam)
adalah hal-hal prinsip yang merupakan pokok dari ajaran Islam. kaidah tersebut
merupakan rumus dari penjaabaran aqidah maupun ajaran Islam. Seseorang kadang sudah memahami hal yang esensi tapi
gagal dalam menerjamahkan suatu prinsip. kadang prinsip yang dijabarkan itu
melenceng dari esensinya. sebuah contoh konkret yang sekarang ini berkembang
adanya asas pluralitas dalam beragama. seorang yang berpikir sistematik akan
menyadari bahwa puncak segitiga adalah satu, yaitu hal yang esensi. oleh karena
itu, hal yang esensi tersebut sebagaimana dijelaskan bahwa hal itu adlah inti,
adalah satu pula. sebuah kebenaran tentang hal esensi adalah tunggal yaitu
keesaan Allah SWT. di atas sudah dijelaskan
bahwa hal yang esensial adalah aqidah Islam. aqidah Islam adalah keimanan bahwa
Tuhan adalah satu, yaitu tauhiid. namun demikian, ada pula kalangan yang
menganut ajaran Islam yang berarti tauhiid, menganut pula prinsip pluralisme
yang menyatakan semua agama adalah benar. di atas engakui hanya satu, kemudian
dibawah mengakui yang lainnya juga. pluralisme memang baik tapi bukan untuk
masalah aqidah atau hal yang esensial, seperti keyakinan terhadap suatu agama.
orang yang berprinsip pluralisme dalam beragama gagal membuat prinsip yang
menjabarkan esensi dala sistem berpikirnya.
3. Praktis
Setelah berpikir masalah
prinsip,seesorang bisa memikirkan masalah-masalah praktis, berdasarkan hal yang
esensi dan prinsip tersebut. hal yang praktis banyak sekali dan merupakan
penjabaran dari esensi maupun prinsip. jumlahnya bisa tidak terbatas tapi tidak
lepas dari koridor segitiga di atas. dalam ajaran islam, hal-hal praktis
merupakan kajian fiqih mengenai perbuatan seseorang. disana akan dibahas
perbuatan-perbuatan yang wajib, sunnah, mubah, haram dan juga makruh. tak
ketinggalan masalah akhlal atau perbuatan moral yang sesuai dengan kaidah
islami. Dengan
menjalankan sistematika berpikir ini maka seseorang akan mudah dalam
menjalankan kehidupannya. tidak terombang ambing oleh suasana kehidupan.
Pemikirannya fokus tidak kesana kesini
tanpa arah. juga akan mudah menyelesaikan problematika hidup. yaitu dari
hal-hal yang praktis ditarik kepada masalah prinsip dan kemlbali kepada sesuatu
yang esensi. seorang muslim yang tahu akan potensi ini sudah seyogianya mengacu
kepada sistem berpikir seperti ini. demikianlah yang dilakukan Rasulullah SAW
dan para sahabat serta generasi pertama dulu sehingga mereka menjadi bangsa
yang memimpin dunia.[5]
C. Jaminan Kebebasan Berfikir
Dalam Islam
Dalam pandangan Islam, seorang
Muslim, di samping ia memiliki hak untuk berpikir ia juga harus menerima
keyakinan dan prinsip-prinsip agama (tauhid, keadilan, kenabian, imamah dan
hari kebangkitan) dengan berpikir dan argumentasi. Tatkala ia menemukan
kritikan dalam benaknya, ia memiliki hak untuk melontarkan kritikan tersebut di
hadapan orang-orang berilmu sehingga kritikannya dapat dijawab dan seterusnya.
Berbeda dengan disebutkan dalam agama Kristen dimana mereka meyakini tentang
adanya daerah terlarang dan mereka menyebut daerah terlarang ini sebagai iman
sedemikian sehingga di tempat tersebut akal tidak boleh campur tangan.
Pada kebanyakan ayat al-Qur'an
manusia diseru untuk berpikir, berinteleksi dan berkontemplasi di alam semesta.
Manusia dituntut dengan energi akalnya, untuk mengenal segala yang
menguntungkan dan merugikan bagi dirinya. Ia diminta untuk bebas dari segala
pasungan, tawanan, kesesatan dan penyimpangan, sehingga ia dengan mudah
melenggang melaju ke depan untuk meraup kesempurnaan. "Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru
dunia dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa
Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhan-mu tidak cukup (bagimu) bahwa
sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (Qs. Fusshilat :53)[6]
Pada kebanyakan riwayat juga
berpikir banyak mendapatkan penegasan; seperti riwayat yang diriwayatkan dari
Imam Shadiq yang menukil dari Imam Ali As: "Berilah cahaya pada hatimu
dengan berpikir." Dalam hadis ini, Imam Shadiq As memandang terjaganya dan
berpengetahuannya hati dengan berpikir; karena tatkala seorang manusia berpikir
tentang sesuatu maka hal itu akan menjadi keyakinannya dan beramal sesuai
dengan keyakinan tersebut. Atau Imam Shadiq As bersabda: "Senantiasa
berpikir tentang Allah Swt dan kekuasaan-Nya merupakan sebaik-baik
ibadah."
Para Nabi Allah juga pada masanya
adalah satu-satunya orang yang memiliki sebuah pikiran bebas dan melihat
seluruh manusia terjerat dalam sebuah rantai keyakinan yang lemah dan
semata-mata bertaklid buta yang sama sekali tidak berpikir. Para nabi Allah
berupaya untuk melepaskan mereka dari jeratan keyakinan model ini.[7]
Akan tetapi harus diperhatikan
bahwa berpikir sucilah yang memainkan peran penting dan memiliki pengaruh praktis
dalam pembinaan dan perjalanan manusia menuju kesempurnaan. Atas dasar ini,
Islam melarang orang untuk berpikir pada sebagian hal tertentu dan memandangnya
sebagai jeratan setan untuk menyesatkan manusia. Islam melarang umatnya untuk
tidak berpikir tentang sesuatu yang tidak mungkin dapat ia capai pada dunia
material ini atau berpikir tentang dzat Ilahi.
Hak kebebasan ditetapkan sebagai
asas dari langit seiring turunnya Islam, untuk meninggikan manusia di muka bumi
ini dan mengokohkan sisi kemanusiaan. Tak ada satu hari pun dari bentuk
kelahiran kecuali selalu berinteraksi dengan kumpulan masyarakat, atau
memberikan nilai pergerakan yang dituntut oleh mereka yang merasa terhalangi
kebebasannya, sebagaimana realitas yang banyak terjadi pada manusia di zaman
sekarang.Islam telah menjamin kebebasan berpikir. Hal itu sangat jelas terlihat
saat Islam menyeru agar menggunakan pikiran dalam menjelajahi penciptaan
semesta, langit, dan bumi. Hal itu, merupakan anjuran yang banyak
disebut-sebut, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Katakanlah,
”Sesungguhnya Aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya
kamu mneghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian
kamu pikirkan.” (QS.Saba: 9) Juga dalam firman-Nya, “Apakah mereka tidak
berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat
memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar. Karena
sesunguhnya bukanlah matai itu yang buta, ialah hati yang ada di dalam dada.”
(QS.Al-Hajj:
46)
Bahkan, Islam sendiri sangat
mencela orang-orang yang merusak kekuatan akal berpikir dan perasaan mereka
dari melaksanakan profesi tugasnya di muka bumi ini, menjadikan mereka dalam
tingkatan yang sma atau sederajat dengan hewan, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat
Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telingan (tetapi) tidak
dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
(QS.Al-A’raf:
179)
Islam mencela orang yang hanya
mengikuti prasangka dan perkiraan. Allah Ta’ala berfirman, “Dan
mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada
bermanfaat sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS.An-Najm: 28) Juga mencela
orang yang suka taklid kepada nenek moyang atau para pemimpin tanpa melihat
kondisi mereka benar atau batil. Dikatakan kepada mereka sebagai sindiran atas
urusan mereka ini dengan firman-Nya, “Dan mereka berkata, “Ya Rabb Kami,
sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami,
lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (QS.Al-Ahzab: 67)[8]
Islam dalam menetapkan akidah
Islamiyah berpedoman dengan dalil akal. Karena itu, para ulama mengatakan, akal
merupakan asas perpindahan. Karena hukum perwujudan Allah Ta’ala tegak
atas dasar ketetapan akal. Demikian pula hukum kenabian Muhammad pertama
kalinya ditetapkan atas dasar akal. Kemudian dibuktikan dengan mukjizat akan
kebenaran kenabiannya. Ini merupakan bentuk dari pemuliaan Islam pada akal
serta pemikiran.Berpikir dalam kacamata Islam merupakan kewajiban yang tidak
boleh dihilangkan dalam kondisi bagaimanapun juga. Islam telah membuka pintu
seluas-luasnya untuk selalu berpikir tentang urusan agama. Demikian itu untuk
membahas kebenaran syariat pada tiap—tiap yang didapatinya dari problematika
hidup. Inilah yang oleh para ulama disebut juga dengan ijtihad. Caranya,
berpegang atas dasar berpikir dalam mengambil hukum (istinbath)
syariat.
Merupakan salah satu asas
fundamental Islam – yang memberikan kebebasan berpikir dalam Islam –
berpengaruh besar dalam metode pebelajaran fikih bagi kaum Muslimin,
memperbaharui analisa syariat bagi permasalahan yang tidak memungkinkan
pandangan di masa awal permulaan Islam. Di masa awal Islam telah berkembang
secara pesat madzhab-madzhab fikih Islam yang masyhur, terus-menerus tumbuh dan
berkembang dalam dunia Islam ynag metode pengajarannya berlaku sampai hari ini.
Begitulah seorang Muslim berpegang pada kejeian akal dan pikirannya – terhadap
segala perkara-perkara sukar dari permasalahan agama dan dunia. Tidak terdapat
sumber nashnya dari nash syariat, yaitu lebih mengokohkan pijakan akal yang
begitu kuat dalm Islam. Ini pijakan yang kedudukannya sangat urgen, dibangundan
diletakkan oleh peradaban kamu yang memesona dalam catatan tinta sejarah Islam.
D.
Hakikat Berfikir Menurut Pandangan Islam
Manusia adalah makluk yang paling utama, sampai-sampai di katatakan – dan
di ungkapkan bahwa – manusia lebih utama dari pada malaikat. Salah satu
keutamaan manusia dibandingkan dengan makluk –makluk lainnya adalah keberadaan
akalnya. Akal menjadi ukuran waras dan tidaknya manusia. Karena kewarasan akal
itulah manusia di beri taklif (beban
hukum) oleh Allah SWT. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita memiliki
pengetahuan tentang akal (‘aql), proses
berfikir (tafkir), dan sekaligus
metode berpikir (thariqah at-tafkir). Karena
proses berpikirlah yang menjadikan akal manusia memiliki nilai, sekaligus
menghasilkan berbagai buah (produk akal) yang mampu membuat kehidupan manusia
menjadi lebih baik.
Berbagai macam ilmu, seni, sastra, filsafat, fikih (hukum), ilmu bahasa,
dan cabang-cabang pengetahuan lain, tiada lain adalah produk akal, yang
konskwensinya juga merupakan produk proses berpikir. Maka, sangatlah naïf jika
kita sering memberikan perhatikan lebih kepada buah (produk) dari akal
sementara terhadap fakta akal itu sendiri sering diabaikan. Apalagi mengkaji
lebih lanjut fakta tentang proses berpikir dan metode berpikir. Oleh karena
itu, demi kebaikan manusia, kehidupan dan alam semesta, harus diketahui fakta
tentang akal itu sendiri. Di samping itu harus pula diketahui fakta mengenai
proses berpikir dan metode berpikir.
Sejak masa Yunani dan setelahnya,
umat manusia telah terdorong untuk mengetahui fakta mengenai proses berpikir.
Hasilnya, mereka sampai pada logika atau (‘ilmu
mantiq) dan berhasil meraih sebagian pemikiran. Akan tetapi mereka telah
merusak hakikat pengetahuan (ma’rifah) itu
sendiri. Mereka juga yang terdorong untuk memahami proses berpikir telah sampai
pada apa yang disebut dengan filsafat (falsafah).
Mereka memang berhasil menciptakan pengetahuan dan kesimpulan yang
menghasilkan kepuasan intelektual. Akan tetapi pengetahuan tersebut jauh dari
fakta dan kebenaran (al-haqiqah). Akibatnya,
mereka menjauhkan manusia dari kebenaran dan fakta hingga menyesatkan banyak
manusia serta menyimpangkan proses berpikir dari jalannya yang lurus.
Seluruh upaya tersebut dan semisalnya, memang telah menghasilkan berbagai
pengetahuan, menciptakan bidang pengkajian dan sejumlah manfaat bagi manusia –
upaya-upaya tersebut tidak di fokuskan pada fakta mengenai proses berfikir,
namun hanya kajian tentang produk dan buah proses berpikir. Maka, dapat
dikatakan bahwa kajian tentang metode berpikir yang lurus selama ini hanya
berputar-putar pada hasil proses berfikir, tidak difokuskan pada fakta proses
berpikir itu sendiri.
Penyebab kegagalan hingga saat ini dalam memahami fakta mengenai proseses
berpikir dikarenakan para pengkaji lebih dulu mengkaji proses berpikir sebelum
mengkaji akal itu sendiri. Padahal, fakta tentang proses berpikir tidak akan
dapat dipahami kecuali setelah mengetahui terlebih dahulu fakta mengenai akal
secara meyakinkan dan pasti (jazim).
Walhasil, pokok masalahnya secara keseluruhan bermuara pada pengetahuan
tentang fakta akal itu sendiri secara meyakinkan dan pasti. Setelah itu atas
petunjuk dan pengetahuan tersebut, barulah bisa di bahas fakta mengenai proses
berpikir dan metode berpikir. Fakta proses berpikir itu sendiri haruslah
merupakan buah dari pengetahuan tentang fakta mengenai akal. Atas dasar itu,
harus diketahui fakta akal secara meyakinkan dan pasti, baru kemudian fakta
tentang proses berpikir.
Orang-orang yang telah berupaya untuk mengetahui fakta akal, baik itu
filosof Yunani, Para pemikir Muslim, dan ilmuwan barat sampai saat ini, sudah
cukup banyak. Akan tetapi, dari berbagai definisi dan usaha-usaha mereka tidak
ada yang layak diperhatikan dan di pertimbangkan, kecuali upaya yang di lakukan
para pemikir komunis. Definisi mereka satu-satunya yang layak diperhatikan dan
dipertimbangkan, sebab upaya mereka adalah upaya yang serius. Tidak ada yang
salah sampai pada devinisi ini, kecuali karena sikap mereka yang terus
mengingkari eksistensi pencipta (al-Khaliq)
alam ini. Andaikata tidak ada pengingkaran eksistensi sang Pencipta ini,
tentu mereka akan mendapati fakta akan secara meyakinkan.
Para pemikir komunis
berkesimpulan tentang fakta akal bahwa fakta ada sebelum pemikiran. Mereka
menyatakan bahwa pemikiran adalah
refleksi (pemantulan) fakta terhadap
otak. Artinya, bahwa pemikiran itu terbentuk dari fakta, otak dan proses refleksi fakta terhadap otak. Menurut
mereka, pemikiran adalah hasil dari
refleksi fakta terhadap otak. Inilah pendapat final mereka. Para pemikir
komunis telah sampai pada keberhasilannya
menyimpulkan keberadaan akal mesti adanya fakta dan otak. Usaha mereka
bisa di pandang sebagai usaha yang serius dan benar. Sampai disini sebenarnya
mereka telah berjalan pada jalur yang benar dan lurus, yang bisa menghantarkan
mereka pada pengetahuan yang meyakinkan tentang fakta akal.
Sayangnya, ketika mereka berusaha
mengaitkan fakta dengan otak, mereka tergelincir dalam kekeliruan. Mereka berkesimpulan bahwa
keduanya adalah proses refleksi fakta terhadap otak. Jadinya mereka keliru
memahami fakta akal sehingga keliru pula dalam mendefinisikan akal tersebut. Penyebab
dari kekeliruan mereka adalah mereka terus mengingkari eksistensi Pencipta yang
telah menciptakan alam semesta ini dari ketiadaan. Akibatnya, mereka tidak
memahami bahwa keberadaan informasi terdahulu (ma’lumat sabiqah, prefius information) tentang fakta merupakan
syarat yang mesti ada bagi adanya sebuah pemikiran atau proses berfikir.
Sebagaimana
telah disadari, bahwa yang terjadi adalah pencerapan otak terhadap fakta, bukan
refleksi fakta terhadap otak. Telah di jelaskan di dalam Al Qur’an al-Karim
bahwa informasi terdahulu tentang fakta atau tentang apa saja yang berkaitan
dengan fakta, merupakan perkara yang harus ada dalam mewujudkan akal atau
kesadaran (idrak). Maka akan kita
dapati makna akal yang sahih yang meyakinkan dan pasti. Dalam proses berfikir,
yang terjadi adalah pengindraan/pencerapan bukan refleksi, dapat kita jelaskan
bahwa tidak ada aktifitas refleksi antara materi yang terindra dengan otak.
Yang terjadi adalah pemindahan materi ke dalam otak melalui panca indra. Lalu
pengindraan tersebut berpindah ke dalam otak sehingga otak mampu mengeluarkan
penilaian atas materi.[9]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berpikir
adalah sebuah aktivitas yang dimulai dari mendapatkan informasi atas sebuah
fakta melalui pancaindera, kemudian menghubungkannya dengan informasi yang
telah disimpan sebelumnya di dalam otak. Oleh karena itu, ada tiga hal
mendasar yang menentukan kualitasnya: (1) kualitas informasi fakta; (2)
informasi yang disimpan sebelumnya; (3) bagaimana menghubungkannya. Tentu tidak semua
berfikir menghasillkan kebangkitan. hanya proses berfikir yang hakiki saja yang
menghasilkan kebangkitan itu. Kadang seseorang tidak memperhatikan apakah yang
dilakukannya dalam berfikir merupakan hal yang esensi, prinsip, atau praktis.
Dalam pandangan Islam, seorang
Muslim, di samping ia memiliki hak untuk berpikir ia juga harus menerima
keyakinan dan prinsip-prinsip agama (tauhid, keadilan, kenabian, imamah dan
hari kebangkitan) dengan berpikir dan argumentasi. Tatkala ia menemukan
kritikan dalam benaknya, ia memiliki hak untuk melontarkan kritikan tersebut di
hadapan orang-orang berilmu sehingga kritikannya dapat dijawab dan seterusnya.
Berbeda dengan disebutkan dalam agama Kristen dimana mereka meyakini tentang
adanya daerah terlarang dan mereka menyebut daerah terlarang ini sebagai iman
sedemikian sehingga di tempat tersebut akal tidak boleh campur tangan.
Pada
kebanyakan ayat al-Qur'an manusia diseru untuk berpikir, berinteleksi dan
berkontemplasi di alam semesta. Manusia dituntut dengan energi akalnya, untuk
mengenal segala yang menguntungkan dan merugikan bagi dirinya. Ia diminta untuk
bebas dari segala pasungan, tawanan, kesesatan dan penyimpangan, sehingga ia
dengan mudah melenggang melaju ke depan untuk meraup kesempurnaan. "Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap
penjuru dunia dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa
Al-Qur’an itu adalah benar.
DAFTAR PUSTAKA
Written by Admin. Akal Menurut Perspektif Al-Quran &
Sains. Friday, 13 March 2009 15:54
Anwar, Rosihon. 2005. Psikologi
dalam Al-quran. CV Pustaka Setia. Bandung (Anngota IKAPI Jawa Barat).
DR. H. M. Hamdan Rasyid, MA.
Mencerdaskan Bangsa dalam Perspektif Al-Qur'an dan As- Sunnah.
Hude, Darwis. 2006. Emosi (Penjelajahan
Religio-Psikologis Tentang Emosi Manusia di dalam Al- Quran).Erlangga.
Jakarta.
[1]
Hude, Darwis. 2006. Emosi
(Penjelajahan Religio-Psikologis Tentang Emosi Manusia di dalam Al-
Quran).Erlangga. Jakarta.
[2]
Anwar, Rosihon. 2005. Psikologi
dalam Al-quran. CV Pustaka Setia. Bandung (Anngota IKAPI Jawa Barat).
[3]
Written by Admin. Akal Menurut Perspektif Al-Quran &
Sains. Friday, 13 March 2009 15:54
[4]
Anwar, Rosihon. 2005. Psikologi
dalam Al-quran. CV Pustaka Setia. Bandung (Anngota IKAPI Jawa Barat).
[5]
Anwar, Rosihon. 2005. Psikologi
dalam Al-quran. CV Pustaka Setia. Bandung (Anngota IKAPI Jawa Barat).
[6]
Hude, Darwis. 2006. Emosi
(Penjelajahan Religio-Psikologis Tentang Emosi Manusia di dalam Al-
Quran).Erlangga. Jakarta.
[7]
DR. H. M. Hamdan Rasyid, MA.
Mencerdaskan Bangsa dalam Perspektif Al-Qur'an dan As- Sunnah.
[8]
DR. H. M. Hamdan Rasyid, MA.
Mencerdaskan Bangsa dalam Perspektif Al-Qur'an dan As- Sunnah.
[9]
Hude, Darwis. 2006. Emosi
(Penjelajahan Religio-Psikologis Tentang Emosi Manusia di dalam Al-
Quran).Erlangga. Jakarta.

Assalamualaikum.
BalasHapusTerima kasih atas penulisan yang diberi. Ada bahagian yang saya pasti jelas dan ada juga bahagian yang sukar saya fahami. Sungguh pun demikian saya ingin dapat izin Tuan untuk menggunakan potong-potong ayat (excerpts) dari tulisan ini bagi mengimbangi usaha motavasi yang saya lakukan. InsyaAllah punca pengambilan 'excerpt' akan pasti disebutkan.
Di sini saya ingin berkongsi satu huraian tersendiri berkenaan perkataan 'fikir'(walaupun ianya dalam bahasa inggeris
F ollow
I slamic
K nowledge
I n
R esolving/ easoning
Inilah sahaja buat waktu ini.
Selamat menyambut Issrak Mikraj.
Jazakallahukhairan 0101-220320 Andalas