Rabu, 09 Desember 2015

BERFIKIR MENURUT PANDANGAN ISLAM



TUGAS INDIVIDU
PENGANTAR FILSAFAT
JUDUL: BERFIKIR MENURUT PANDANGAN ISLAM
DOSEN PENGAMPU : WIRA SUGIARTO,S.IP.M.Pd.I

DISUSUN OLEH:
MUHAMMAD ROMSYAH
SEMESTER III D PAI

JURUSAN TARBIYAH DAN KEGURUAN
PROGRAM STUDI  PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
( STAIN ) BENGKALIS
2015 M/ 1436 H


NAMA                          :   MUHAMMAD ROMSYAH
Tempat Tanggal Lahir    :     Pematang Duku, 02 Februari 1994
ALAMAT                     :   Jl.Makmur RT 01 RW 05 Dusun Kembung Dalam
                                          Desa Pematang Duku Kec.Bengkalis Kab.Bengkalis
Perguruan Tinggi        :   SEKOLAH TINGGI  AGAMA ISLAM  NEGRI
                                          ( STAIN BEGKALIS )
NIM                              :  


KATA PENGANTAR
Assalamu`alaikum, Wr. Wb
Puji dan syukur pemakalah ucapkan kepada Allah SWT. Karena berkat limpahan Rahmat dan Hidayah serta petunjuk-Nya, Penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis  ini yang membahas tentang “BERFIKIR MENURUT PANDANGAN ISLAM”.
Shalawat dan salam buat Nabi besar Muhammad SAW yang merupakan sosok yang dapat ditauladani dari berbagai hal kehidupan, sehingga perjalanan hidupnya dijadikan sejarah oleh manusia untuk pedoman hidup bagi umatnya.
Dan tak lupa ucapan terima kasih pemakalah kepada Dosen pembimbing dalam mata kuliah Pengantar Filsafat, Orang Tua yang selalu memberikan motivasi, Teman-teman, serta semua pihak yang telah mendukung dalam proses pembuatan makalah ini.
Terakhir, Penulis sadar bahwa, banyak kekurangan dalam Karya Tulis ini, hal ini karena kurangnya sumber rujukan dan kurangnya Ilmu yang Penulis miliki. Maka Saya sangat mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca yang bersifat membangun untuk Tugas yang akan datang.

Bengkalis,        Desember ,2015




PENULIS



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
A.    Latar Belakang............................................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah......................................................................................................... 1
C.     Tujuan........................................................................................................................... 1
BAB II  PEMBAHASAN................................................................................................. 2
A.    Pengertian Akal dan pikiran......................................................................................... 2
B.     Konsep berfikir............................................................................................................. 4
C.     Jaminan Kebebasan Berfikir Dalam Islam.................................................................... 6
D.    Hakikat Berfikir Menurut Pandangan Islam................................................................ 8
BAB III  PENUTUP........................................................................................................... 14
Kesimpulan.................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 15

E.      
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Otak manusia yang terkandung di dalamnya berbillion neoron itu adalah satu ciptaan yang sangat ajaib. Otak manusia, bukan seumpama bekas pada dunia dimensi ketiga; makin diisi makin penuh, tapi ia adalah ciptaan yang sangat luar biasa; makin diisi makin bertambah ruangnya. Otak dicipta sebegitu rupa, dengan dua hemisfera kanan dan kiri dengan peranan yang berbeza. Ia terletak di atas, tidak di tengah atau di bawah menunjukkan betapa pentingnya otak untuk dieksploitasi. Itulah otak yang berperanan sebagai akal untuk berfikir, menaakul, menganalisis, melakukan komparatif, dan menginterpretasi setiap maklumat yang diterima daripada pancaindera; mata yang melihat dan membaca, telinga yang mendengar, hidung yang mencium, mulut yang merasa, kulit yang menyentuh. Allah menciptakan manusia. Allah menganugerahkan akal dengan kebolehan dan fungsinya untuk berfikir dan memahami.
Mari kita lihat pesanan-pesanan Pencipta kita di dalam al-Quran tentang akal: Firman Allah: ``Sesungguhnya pendengaran dan penglihatan serta hati (akal), semua anggota-anggota itu tetap akan ditanya tentang apa yang dilakukannya.'' (Al-Isra: 36). Firman Allah lagi: ``Oleh itu, bukankah ada baiknya mereka mengembara di muka bumi supaya mereka menjadi orang-orang yang ada hati (akal) yang dengannya mereka dapat memahami, atau ada telinga yang dengannya mereka dapat mendengar?'' (Al-Hajj: 46)
Begitu sekali Allah mahukan kita menggunakan akal kita untuk memahami dan berfikir tentang ciptaan-Nya. Banyak lagi ayat lain yang menegaskan bahawa umat Islam perlu menjadi umat yang berfikir. Di dalam al-Quran, terdapat 49 perkataan `aqala yang bermaksud fikir, selain penggunaan-penggunaan perkataan ulul-albab dan ulul-nuha untuk para ahli fikir. Begitu sekali pentingnya budaya berfikir dan menganalisis. Secara fitrah, Manusia dan Hewan sama-sama mempunyai kemampuan persepsi indrawi. Akan tetapi, Allah SWT menganugerahkan juga akal kepada manusia. Dengan akal itulah manusia dapat melampaui segala sesuatu yang dapat dipersepsi. Manusia dapat memikirkan pengertian-pengertian yang abstrak. Misalnya tentang kebaikan dan keburukan, keutamaan dan kehinaan serta kebenaran dan kebatilan. Hanya saja, kemampuan akal manusia dalam persepsi dan pengetahuan itu terbatas.  
Dewasa ini, Islam sering dikaitkan dengan segala nisbah keburukan yang tidak terfikir oleh akal yang waras. Usaha ini pada mulanya telah disebarkan oleh sarjana dan media barat dan apa yang paling dikesalkan ia telah turut disokong kuat oleh kalangan sarjana dan pemerintah umat Islam sendiri. Di Malaysia sendiri, fenomena ini telah mula dirasakan pengaruhnya apabila baru-baru ini telah diadakan suatu wacana ilmiah dengan menjadikan tema penutupan minda umat Melayu Islam sebagai asas perbincangan utama . Seperti dijangkakan, di dalam wacana ini terdapat beberapa suara sumbang dari pembentang yang mengaitkan kemunduran umat Melayu hanya kerana ajaran Islam semata-mata. Hal ini telah diungkap dengan cukup baik oleh Sidek Fadzil, dengan katanya; “ gejala-gejala ketertutupan minda memang ada. Tetapi dalam banyak paparan ia selalu diperlihatkan sebagai masalah eksklusif golongan Islamik. Padahal ia wujud dimana-mana, termasuk dalam kalangan kelompok yang menamakan diri sebagai nasionalis. Sikap alergik terhadap apa-apa sahaja yang berbau Islam jelas menayangkan hakikat bahawa mereka juga sebenarnya merupakan penderita penyakit ketertutupan minda. Yang dipermasalahkan sebenarnya bukanlah ketertutupan itu sendiri, tetapi ketertutupan terhadap kebenaran
B.     Rumusan Maslah
1.      Apa yang di maksud dengan akal dan fikiran?
2.      Bagaimana Prespektif pberfikir menurut pandangan islam?
3.      Apa saja konsep dari berfikir?
4.      Bagaimana Jaminan berfikir bebas menurut pandangan Islam?
5.      Bagaimana hakikat berfikir Menurut pandang Islam?
C.     Tujuan
1.      Untuk Mengetahui maksud dari berfikir menurut pandangan Islam
2.      Untuk Mengetahuai Hakikat Berfikir Menurut pandangan islam
3.      Untuk Mengetahui Koneptual dalam berfikir
4.      Untuk mengetahui Jaminan berfikir bebas dalam pandangan Islam



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Akal dan Pikiran
Berfikir adalah gejala jiwa yang dapat menetapkan hubungan-hubungan sesuatu yang menjadi ia tahu atau ssuatu kegiatan yang melibatkan otak kita bekerja. Symbol-simbol yang digunakan dalam berfikir pada umumnya adalah mengguanakan kata-kata, bayangan atau gambaran dan bahasa. Namun, sebagian besar dalam berfikir orang kebanyakan lebih sering menggunakan bahasa atau verbal kenapa, karena bahasa merupakan alat penting dalam berfikir.Seperti yang diaparkan diatas yaitu dalam proses berfikir ada konsep yang harus kita ketahui.
Berpikir adalah sebuah aktivitas yang dimulai dari mendapatkan informasi atas sebuah fakta melalui pancaindera, kemudian menghubungkannya dengan informasi yang telah disimpan sebelumnya di dalam otak.  Oleh karena itu, ada tiga hal mendasar yang menentukan kualitasnya: (1) kualitas informasi fakta; (2) informasi yang disimpan sebelumnya; (3) bagaimana menghubungkannya.
Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran.
Akal dan pikiran merupakan karunia paling mulia yang diberikan Allah Swt kepada manusia.  Di dalam Al-Quran, kata ‘aql tidak ditemukan dalam bentuk kata benda. Tetapi dalam bentuk kata kerja, baik bentuk lampau (fī’l madhi) maupun sedang dan yang akan datang ( fī’l mudhari ). Hal ini dapat dipahami bahwa akal haruslah berfungsi karena yang bermakna bagi kehidupan adalah aktivitasnya. Orang yang tidak mau memfungsikan akalnya dalam menalar berbagai peristiwa disekelilingnya dicela oleh Al-Qur’an. Beberapa ayat dalam masalah ini dapat dibaca, Sebaliknya Al-Qur’an sangat bersimpati kepada orang yang mau menggunakan akalnya untuk memikirkan fenomena alam sebagai tanda kebesaran Allah. [1]
Kata akal berasal dari Bahasa Arab, al-‘aql. Kata ini terambil dari kata ‘iqal (al-bā’ir) atau tali kencangan unta, artinya mencegah orang berakal sehat untuk tidak lepas atau keluar dari jalur yang benar .
Jurjani juga mengintroduksi berbagai jenis akal, yaitu :
1.         al-‘aql al-hayulani (akal materi), 
2.         al-‘aql bi al-malakah (akal potensi), 
3.         al-‘aql bi al-fi’l (akal aktual), dan 
4.         al-aql al mustafad (akal perolehan). 
Untuk pemahaman lebih luas tentang hal ini, lihat Harun Nasution Pemaknaan terhadap kata ‘aql ini sangat beragam, namun Jurjani lebih menjelaskan bahwa yang tepat adalah bahwa akal itu merupakan esensi tunggal yang memahami hal-hal bastrak melalui perantara-perantara (mekanisme) tertentu dan mengetahui benda-benda kongkrit melalui indra. Fungsi akal adalah menerima dan memproses berbagai informasi yang diterima melalui alat-alat indra kemudian disimpan dan dimunculkan kembali pada saat diperlukan. Fungsi ini dalam Psikologi dikenal dengan istilah kognisi. Manusia mendapat anugrah dari Allah SWT berupa kemampuan mengenal, mengetahui dan mengungkapkan kembali berbagai hal yang diketahuinya. Kemampuan Adam a.s. mengungkapkan al-asma’ (nama-nama) atau nama benda-benda yang telah ia ketahui melalui proses belajar merupakan kemampuan kognisi yang tidak dimiliki oleh para malaikat.
Kognisi sebagai salah satu instrumen yang menjadi modalitas bagi manusia memegang peran penting dalam kehidupan manusia. Pengalaman-pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungan akal disimpan didalam gudang memori untuk dijadikan bahan pengetahuan yang mungkin dibutuhkan pada suatu waktu. Informasi yang tersimpan di dalam gudang memori selamanya akan terendap disitu hingga suatu saat diperlukan dan dipanggil kembali. Apa yang disebut ‘lupa’ sejatinya hanya ketidakmampuan kita menemukan informasi itu ditempat penyimpanannya didalam gudang memori. Manusia dengan berbagai upaya dapat meningkatkan kemampuannya mengingat berbagai informasi (data) yang diperlukan dalam kehidupannya.[2] 
Dari sekian banyak ayat yang berbicara tentang fungsi akal pada manusia. Tampaknya akal tidak dulu memproses informasi menjadi pengetahuan yang tersimpan di dalam memori, tetapi juga memberikan dorongan moral kepada pemiliknya untuk melakukan kebaikan dan menghindari keburukan. Menurut Qurais Shihab ,akal mempunya tiga daya sebagaimana dapat dipahami dari penuturan ayat-ayat Al-Qur’an: 
1.         Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, 
2.         Dorongan moral (daya untuk mengikuti nilai-nilai moral), dan 
3.         Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah.
Orang-orang yang tidak berpikir dan menolak untuk menghamba kepada Tuhan, dipandang sebagai mahkluk yang lebih buruk daripada binatang. Akal dalam pandangan al-Quran dan riwayat, bukanlah semata-mata akal kalkulatif dan logika Aristotelian. Keduanya meski dapat menjadi media bagi akal namun tidak mencakup semuanya.
Karena itu, berulang kali al-Quran menyebutkan bahwa kebanyakan orang tidak berpikir, atau tidak menggunakan akalnya,sementara kita tahu bahwa kebanyakan manusia melakukan pekerjaannya dengan berhitung dan kalkulatif pada seluruh urusannya.
Memandang sama akal dan berpikir kalkulatif merupakan sebuah kesalahan epistemologis.  Bahkan melakukan komparasi dan memiliki kemampuan berhitung semata-mata merupakan salah satu media permukaan akal yang lebih banyak berurusan pada masalah angka-angka dan kuantitas.
Namun untuk mencerap realitas-realitas segala sesuatu, baik dan buruk, petunjuk dan kesesatan, kesempurnaan dan kebahagiaan, dan lain sebagainya diperlukan cahaya yang disebut sebagai sebuah anasir Ilahi yang terpendam dalam diri manusia. Anasir ini adalah akal dan fitrah manusia dalam artian sebenarnya. Sebagaimana sesuai dengan sabda Imam Ali As bahwa nabi-nabi diutus adalah untuk menyemai khazanah akal manusia.Dalam Islam, akal dan agama adalah satu hakikat tunggal dan sesuai dengan sebagian riwayat, dimanapun akal berada maka agama akan selalu mendampingi, tidak ada jarak yang terbentang antara iman dan kekurufan kecuali dengan kurangnya akal.[3]
Menggunakan pikiran dan akal dapat digunakan di jalan benar dan tepat apabila digunakan  dalam rangka ibadah dan penghambaan. Imam Shadiq As ditanya tentang apakah akal itu?” Imam Shadiq As menjawab, “Sesuatu yang dengannya Tuhan disembah dan surga diraih.”Berdasarkan hal ini, harap diperhatikan, berpikir dalam al-Quran tidak serta merta bermakna menggunakan akal yang dikenal secara terminologis.  Tatkala al-Quran menyeru untuk berpikir dan merenung dalam rangka penghambaan yang lebih serta terbebas dari belenggu kegelapan dan kesilaman jiwa, boleh jadi merupakan salah satu tanda berpikir dan berasionisasi.
Dalam pandangan ini, kedudukan akal dan pikiran sedemikian tinggi dan menjulang sehingga Allah Swt dalam al-Quran, tidak sekali pun menyuruh hamba-Nya untuk tidak berpikir atau menempuh jalan secara membabi buta.[4]
B.     Konsep Berfikir
Tentu tidak semua berfikir menghasillkan kebangkitan. hanya proses berfikir yang hakiki saja yang menghasilkan kebangkitan itu. Kadang seseorang tidak memperhatikan apakah yang dilakukannya dalam berfikir merupakan hal yang esensi, prinsip, atau praktis. Ketiganya tentu berbeda
1.      Esensi
Pada hakikatnya seseorang berpikir secara esensi (inti) terlebih dahulu. tanpa berpikit hal yang esensi maka tidak akan berujung pada kebenaran apalagi kebangkitan. pemikiran yang esensi dalam kehidupan ini adalah untuk menjawab sebuah pertanyaan dasar, "untuk apa kita berada di dunia ini?", Juga pertanyaan aasasi "Dari mana asal kita dan mau kemana kita setelah mati?", pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus dijawab. dari awal pertanyaan tadi akan berkembang pemikiran esensial tersebut bahwa sesungguhnya keberadaan kita di bumi ini adalah untuk mengabdi kepada Tuhan ala semesta ini. keberadaan kita di muka bumi sebagai Khalifatullah. Oleh karena itu, manusia sebelum berkiprah di dunia harus melakukan perenungan, tafakur, dan berpikir mengenai hal yang esensi ini. dalam ajaran islam, hal yang esensi adalah aqidah. keimanan terhadap Tuhan. keyakinan inilah yang menjadi pendorong seseorang dalam berpikir dan bertindak selanjutnya. keimanan juga menjadi dasar bagi setiap muslim dalam beraktivitas.
2.       Prinsip
Setelh berpikir tentang hal yang esensi maka selanjutnya barulah kita melangkah menuju suatu prinsip. sebuah prinsip berbeda dengan esensi. prinsip adalah hal yang membatasi esensi. sesuatu yang esensi adalah sebuah inti. tanpa suatu pembatas maka ia bukan lagi sebuah esensi (inti). pembatas dari inti adalah suatu prinsip, jika esensi itu satu (karena ia adalah inti) makaprinsip bisa beberapa (namun tidaklah banyak). Berpikir tentang hal-hal prinsip juga penting. sebab hal itu menjadi penjabaran dari hal yang esensi. seseorang yang berpikir dalam kerangka Islam, ia akan melihat masalah aqidah adalah hal yang esensi. sedangkan rukun iman dan rukun Islam adalah prinsip yang harus dijalankan. juga ilmu ushul fiqih (ilmu mengenai dasar agama Islam) adalah hal-hal prinsip yang merupakan pokok dari ajaran Islam. kaidah tersebut merupakan rumus dari penjaabaran aqidah maupun ajaran Islam. Seseorang kadang sudah memahami hal yang esensi tapi gagal dalam menerjamahkan suatu prinsip. kadang prinsip yang dijabarkan itu melenceng dari esensinya. sebuah contoh konkret yang sekarang ini berkembang adanya asas pluralitas dalam beragama. seorang yang berpikir sistematik akan menyadari bahwa puncak segitiga adalah satu, yaitu hal yang esensi. oleh karena itu, hal yang esensi tersebut sebagaimana dijelaskan bahwa hal itu adlah inti, adalah satu pula. sebuah kebenaran tentang hal esensi adalah tunggal yaitu keesaan Allah SWT. di atas sudah dijelaskan bahwa hal yang esensial adalah aqidah Islam. aqidah Islam adalah keimanan bahwa Tuhan adalah satu, yaitu tauhiid. namun demikian, ada pula kalangan yang menganut ajaran Islam yang berarti tauhiid, menganut pula prinsip pluralisme yang menyatakan semua agama adalah benar. di atas engakui hanya satu, kemudian dibawah mengakui yang lainnya juga. pluralisme memang baik tapi bukan untuk masalah aqidah atau hal yang esensial, seperti keyakinan terhadap suatu agama. orang yang berprinsip pluralisme dalam beragama gagal membuat prinsip yang menjabarkan esensi dala sistem berpikirnya.
3.       Praktis
Setelah berpikir masalah prinsip,seesorang bisa memikirkan masalah-masalah praktis, berdasarkan hal yang esensi dan prinsip tersebut. hal yang praktis banyak sekali dan merupakan penjabaran dari esensi maupun prinsip. jumlahnya bisa tidak terbatas tapi tidak lepas dari koridor segitiga di atas. dalam ajaran islam, hal-hal praktis merupakan kajian fiqih mengenai perbuatan seseorang. disana akan dibahas perbuatan-perbuatan yang wajib, sunnah, mubah, haram dan juga makruh. tak ketinggalan masalah akhlal atau perbuatan moral yang sesuai dengan kaidah islami. Dengan menjalankan sistematika berpikir ini maka seseorang akan mudah dalam menjalankan kehidupannya. tidak terombang ambing oleh suasana kehidupan. Pemikirannya fokus tidak kesana kesini tanpa arah. juga akan mudah menyelesaikan problematika hidup. yaitu dari hal-hal yang praktis ditarik kepada masalah prinsip dan kemlbali kepada sesuatu yang esensi. seorang muslim yang tahu akan potensi ini sudah seyogianya mengacu kepada sistem berpikir seperti ini. demikianlah yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat serta generasi pertama dulu sehingga mereka menjadi bangsa yang memimpin dunia.[5]


C.    Jaminan Kebebasan Berfikir Dalam Islam
Dalam pandangan Islam, seorang Muslim, di samping ia memiliki hak untuk berpikir ia juga harus menerima keyakinan dan prinsip-prinsip agama (tauhid, keadilan, kenabian, imamah dan hari kebangkitan) dengan berpikir dan argumentasi. Tatkala ia menemukan kritikan dalam benaknya, ia memiliki hak untuk melontarkan kritikan tersebut di hadapan orang-orang berilmu sehingga kritikannya dapat dijawab dan seterusnya. Berbeda dengan disebutkan dalam agama Kristen dimana mereka meyakini tentang adanya daerah terlarang dan mereka menyebut daerah terlarang ini sebagai iman sedemikian sehingga di tempat tersebut akal tidak boleh campur tangan.
Pada kebanyakan ayat al-Qur'an manusia diseru untuk berpikir, berinteleksi dan berkontemplasi di alam semesta. Manusia dituntut dengan energi akalnya, untuk mengenal segala yang menguntungkan dan merugikan bagi dirinya. Ia diminta untuk bebas dari segala pasungan, tawanan, kesesatan dan penyimpangan, sehingga ia dengan mudah melenggang melaju ke depan untuk meraup kesempurnaan. "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dunia dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhan-mu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (Qs. Fusshilat :53)[6]
Pada kebanyakan riwayat juga berpikir banyak mendapatkan penegasan; seperti riwayat yang diriwayatkan dari Imam Shadiq yang menukil dari Imam Ali As: "Berilah cahaya pada hatimu dengan berpikir." Dalam hadis ini, Imam Shadiq As memandang terjaganya dan berpengetahuannya hati dengan berpikir; karena tatkala seorang manusia berpikir tentang sesuatu maka hal itu akan menjadi keyakinannya dan beramal sesuai dengan keyakinan tersebut. Atau Imam Shadiq As bersabda: "Senantiasa berpikir tentang Allah Swt dan kekuasaan-Nya merupakan sebaik-baik ibadah."
Para Nabi Allah juga pada masanya adalah satu-satunya orang yang memiliki sebuah pikiran bebas dan melihat seluruh manusia terjerat dalam sebuah rantai keyakinan yang lemah dan semata-mata bertaklid buta yang sama sekali tidak berpikir. Para nabi Allah berupaya untuk melepaskan mereka dari jeratan keyakinan model ini.[7]
Akan tetapi harus diperhatikan bahwa berpikir sucilah yang memainkan peran penting dan memiliki pengaruh praktis dalam pembinaan dan perjalanan manusia menuju kesempurnaan. Atas dasar ini, Islam melarang orang untuk berpikir pada sebagian hal tertentu dan memandangnya sebagai jeratan setan untuk menyesatkan manusia. Islam melarang umatnya untuk tidak berpikir tentang sesuatu yang tidak mungkin dapat ia capai pada dunia material ini atau berpikir tentang dzat Ilahi.
Hak kebebasan ditetapkan sebagai asas dari langit seiring turunnya Islam, untuk meninggikan manusia di muka bumi ini dan mengokohkan sisi kemanusiaan. Tak ada satu hari pun dari bentuk kelahiran kecuali selalu berinteraksi dengan kumpulan masyarakat, atau memberikan nilai pergerakan yang dituntut oleh mereka yang merasa terhalangi kebebasannya, sebagaimana realitas yang banyak terjadi pada manusia di zaman sekarang.Islam telah menjamin kebebasan berpikir. Hal itu sangat jelas terlihat saat Islam menyeru agar menggunakan pikiran dalam menjelajahi penciptaan semesta, langit, dan bumi. Hal itu, merupakan anjuran yang banyak disebut-sebut, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Katakanlah, ”Sesungguhnya Aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu mneghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu pikirkan.” (QS.Saba: 9) Juga dalam firman-Nya, “Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar. Karena sesunguhnya bukanlah matai itu yang buta, ialah hati yang ada di dalam dada.” (QS.Al-Hajj: 46)
Bahkan, Islam sendiri sangat mencela orang-orang yang merusak kekuatan akal berpikir dan perasaan mereka dari melaksanakan profesi tugasnya di muka bumi ini, menjadikan mereka dalam tingkatan yang sma atau sederajat dengan hewan, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telingan (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS.Al-A’raf: 179)
Islam mencela orang yang hanya mengikuti prasangka dan perkiraan. Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada bermanfaat sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS.An-Najm: 28) Juga mencela orang yang suka taklid kepada nenek moyang atau para pemimpin tanpa melihat kondisi mereka benar atau batil. Dikatakan kepada mereka sebagai sindiran atas urusan mereka ini dengan firman-Nya, “Dan mereka berkata, “Ya Rabb Kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (QS.Al-Ahzab: 67)[8]
Islam dalam menetapkan akidah Islamiyah berpedoman dengan dalil akal. Karena itu, para ulama mengatakan, akal merupakan asas perpindahan. Karena hukum perwujudan Allah Ta’ala tegak atas dasar ketetapan akal. Demikian pula hukum kenabian Muhammad pertama kalinya ditetapkan atas dasar akal. Kemudian dibuktikan dengan mukjizat akan kebenaran kenabiannya. Ini merupakan bentuk dari pemuliaan Islam pada akal serta pemikiran.Berpikir dalam kacamata Islam merupakan kewajiban yang tidak boleh dihilangkan dalam kondisi bagaimanapun juga. Islam telah membuka pintu seluas-luasnya untuk selalu berpikir tentang urusan agama. Demikian itu untuk membahas kebenaran syariat pada tiap—tiap yang didapatinya dari problematika hidup. Inilah yang oleh para ulama disebut juga dengan ijtihad. Caranya, berpegang atas dasar berpikir dalam mengambil hukum (istinbath) syariat.
Merupakan salah satu asas fundamental Islam – yang memberikan kebebasan berpikir dalam Islam – berpengaruh besar dalam metode pebelajaran fikih bagi kaum Muslimin, memperbaharui analisa syariat bagi permasalahan yang tidak memungkinkan pandangan di masa awal permulaan Islam. Di masa awal Islam telah berkembang secara pesat madzhab-madzhab fikih Islam yang masyhur, terus-menerus tumbuh dan berkembang dalam dunia Islam ynag metode pengajarannya berlaku sampai hari ini. Begitulah seorang Muslim berpegang pada kejeian akal dan pikirannya – terhadap segala perkara-perkara sukar dari permasalahan agama dan dunia. Tidak terdapat sumber nashnya dari nash syariat, yaitu lebih mengokohkan pijakan akal yang begitu kuat dalm Islam. Ini pijakan yang kedudukannya sangat urgen, dibangundan diletakkan oleh peradaban kamu yang memesona dalam catatan tinta sejarah Islam.

D.    Hakikat Berfikir Menurut Pandangan Islam
Manusia adalah makluk yang paling utama, sampai-sampai di katatakan – dan di ungkapkan bahwa – manusia lebih utama dari pada malaikat. Salah satu keutamaan manusia dibandingkan dengan makluk –makluk lainnya adalah keberadaan akalnya. Akal menjadi ukuran waras dan tidaknya manusia. Karena kewarasan akal itulah manusia di beri taklif (beban hukum) oleh Allah SWT. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita memiliki pengetahuan tentang akal (‘aql), proses berfikir (tafkir), dan sekaligus metode berpikir (thariqah at-tafkir). Karena proses berpikirlah yang menjadikan akal manusia memiliki nilai, sekaligus menghasilkan berbagai buah (produk akal) yang mampu membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik.
Berbagai macam ilmu, seni, sastra, filsafat, fikih (hukum), ilmu bahasa, dan cabang-cabang pengetahuan lain, tiada lain adalah produk akal, yang konskwensinya juga merupakan produk proses berpikir. Maka, sangatlah naïf jika kita sering memberikan perhatikan lebih kepada buah (produk) dari akal sementara terhadap fakta akal itu sendiri sering diabaikan. Apalagi mengkaji lebih lanjut fakta tentang proses berpikir dan metode berpikir. Oleh karena itu, demi kebaikan manusia, kehidupan dan alam semesta, harus diketahui fakta tentang akal itu sendiri. Di samping itu harus pula diketahui fakta mengenai proses berpikir dan metode berpikir.
Sejak masa Yunani dan setelahnya, umat manusia telah terdorong untuk mengetahui fakta mengenai proses berpikir. Hasilnya, mereka sampai pada logika atau (‘ilmu mantiq) dan berhasil meraih sebagian pemikiran. Akan tetapi mereka telah merusak hakikat pengetahuan (ma’rifah) itu sendiri. Mereka juga yang terdorong untuk memahami proses berpikir telah sampai pada apa yang disebut dengan filsafat (falsafah). Mereka memang berhasil menciptakan pengetahuan dan kesimpulan yang menghasilkan kepuasan intelektual. Akan tetapi pengetahuan tersebut jauh dari fakta dan kebenaran (al-haqiqah). Akibatnya, mereka menjauhkan manusia dari kebenaran dan fakta hingga menyesatkan banyak manusia serta menyimpangkan proses berpikir dari jalannya yang lurus.
Seluruh upaya tersebut dan semisalnya, memang telah menghasilkan berbagai pengetahuan, menciptakan bidang pengkajian dan sejumlah manfaat bagi manusia – upaya-upaya tersebut tidak di fokuskan pada fakta mengenai proses berfikir, namun hanya kajian tentang produk dan buah proses berpikir. Maka, dapat dikatakan bahwa kajian tentang metode berpikir yang lurus selama ini hanya berputar-putar pada hasil proses berfikir, tidak difokuskan pada fakta proses berpikir itu sendiri.

Penyebab kegagalan hingga saat ini dalam memahami fakta mengenai proseses berpikir dikarenakan para pengkaji lebih dulu mengkaji proses berpikir sebelum mengkaji akal itu sendiri. Padahal, fakta tentang proses berpikir tidak akan dapat dipahami kecuali setelah mengetahui terlebih dahulu fakta mengenai akal secara meyakinkan dan pasti (jazim).
Walhasil, pokok masalahnya secara keseluruhan bermuara pada pengetahuan tentang fakta akal itu sendiri secara meyakinkan dan pasti. Setelah itu atas petunjuk dan pengetahuan tersebut, barulah bisa di bahas fakta mengenai proses berpikir dan metode berpikir. Fakta proses berpikir itu sendiri haruslah merupakan buah dari pengetahuan tentang fakta mengenai akal. Atas dasar itu, harus diketahui fakta akal secara meyakinkan dan pasti, baru kemudian fakta tentang proses berpikir.
Orang-orang yang telah berupaya untuk mengetahui fakta akal, baik itu filosof Yunani, Para pemikir Muslim, dan ilmuwan barat sampai saat ini, sudah cukup banyak. Akan tetapi, dari berbagai definisi dan usaha-usaha mereka tidak ada yang layak diperhatikan dan di pertimbangkan, kecuali upaya yang di lakukan para pemikir komunis. Definisi mereka satu-satunya yang layak diperhatikan dan dipertimbangkan, sebab upaya mereka adalah upaya yang serius. Tidak ada yang salah sampai pada devinisi ini, kecuali karena sikap mereka yang terus mengingkari eksistensi pencipta (al-Khaliq) alam ini. Andaikata tidak ada pengingkaran eksistensi sang Pencipta ini, tentu mereka akan mendapati fakta akan secara meyakinkan.

Para pemikir komunis berkesimpulan tentang fakta akal bahwa fakta ada sebelum pemikiran. Mereka menyatakan bahwa pemikiran adalah refleksi (pemantulan) fakta terhadap otak. Artinya, bahwa pemikiran itu terbentuk dari fakta, otak dan proses refleksi fakta terhadap otak. Menurut mereka, pemikiran adalah hasil dari refleksi fakta terhadap otak. Inilah pendapat final mereka. Para pemikir komunis telah sampai pada keberhasilannya  menyimpulkan keberadaan akal mesti adanya fakta dan otak. Usaha mereka bisa di pandang sebagai usaha yang serius dan benar. Sampai disini sebenarnya mereka telah berjalan pada jalur yang benar dan lurus, yang bisa menghantarkan mereka pada pengetahuan yang meyakinkan tentang fakta akal.
Sayangnya, ketika mereka berusaha mengaitkan fakta dengan otak, mereka tergelincir  dalam kekeliruan. Mereka berkesimpulan bahwa keduanya adalah proses refleksi fakta terhadap otak. Jadinya mereka keliru memahami fakta akal sehingga keliru pula dalam mendefinisikan akal tersebut. Penyebab dari kekeliruan mereka adalah mereka terus mengingkari eksistensi Pencipta yang telah menciptakan alam semesta ini dari ketiadaan. Akibatnya, mereka tidak memahami bahwa keberadaan informasi terdahulu (ma’lumat sabiqah, prefius information) tentang fakta merupakan syarat yang mesti ada bagi adanya sebuah pemikiran atau proses berfikir.  

Sebagaimana telah disadari, bahwa yang terjadi adalah pencerapan otak terhadap fakta, bukan refleksi fakta terhadap otak. Telah di jelaskan di dalam Al Qur’an al-Karim bahwa informasi terdahulu tentang fakta atau tentang apa saja yang berkaitan dengan fakta, merupakan perkara yang harus ada dalam mewujudkan akal atau kesadaran (idrak). Maka akan kita dapati makna akal yang sahih yang meyakinkan dan pasti. Dalam proses berfikir, yang terjadi adalah pengindraan/pencerapan bukan refleksi, dapat kita jelaskan bahwa tidak ada aktifitas refleksi antara materi yang terindra dengan otak. Yang terjadi adalah pemindahan materi ke dalam otak melalui panca indra. Lalu pengindraan tersebut berpindah ke dalam otak sehingga otak mampu mengeluarkan penilaian atas materi.[9]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berpikir adalah sebuah aktivitas yang dimulai dari mendapatkan informasi atas sebuah fakta melalui pancaindera, kemudian menghubungkannya dengan informasi yang telah disimpan sebelumnya di dalam otak.  Oleh karena itu, ada tiga hal mendasar yang menentukan kualitasnya: (1) kualitas informasi fakta; (2) informasi yang disimpan sebelumnya; (3) bagaimana menghubungkannya. Tentu tidak semua berfikir menghasillkan kebangkitan. hanya proses berfikir yang hakiki saja yang menghasilkan kebangkitan itu. Kadang seseorang tidak memperhatikan apakah yang dilakukannya dalam berfikir merupakan hal yang esensi, prinsip, atau praktis.
Dalam pandangan Islam, seorang Muslim, di samping ia memiliki hak untuk berpikir ia juga harus menerima keyakinan dan prinsip-prinsip agama (tauhid, keadilan, kenabian, imamah dan hari kebangkitan) dengan berpikir dan argumentasi. Tatkala ia menemukan kritikan dalam benaknya, ia memiliki hak untuk melontarkan kritikan tersebut di hadapan orang-orang berilmu sehingga kritikannya dapat dijawab dan seterusnya. Berbeda dengan disebutkan dalam agama Kristen dimana mereka meyakini tentang adanya daerah terlarang dan mereka menyebut daerah terlarang ini sebagai iman sedemikian sehingga di tempat tersebut akal tidak boleh campur tangan.
Pada kebanyakan ayat al-Qur'an manusia diseru untuk berpikir, berinteleksi dan berkontemplasi di alam semesta. Manusia dituntut dengan energi akalnya, untuk mengenal segala yang menguntungkan dan merugikan bagi dirinya. Ia diminta untuk bebas dari segala pasungan, tawanan, kesesatan dan penyimpangan, sehingga ia dengan mudah melenggang melaju ke depan untuk meraup kesempurnaan. "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dunia dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar.


DAFTAR PUSTAKA
Written by Admin. Akal Menurut Perspektif Al-Quran & Sains. Friday, 13 March 2009 15:54
Anwar, Rosihon. 2005. Psikologi dalam Al-quran. CV Pustaka Setia. Bandung (Anngota IKAPI Jawa Barat). 
DR. H. M. Hamdan Rasyid, MA. Mencerdaskan Bangsa dalam Perspektif Al-Qur'an dan As- Sunnah. 
Hude, Darwis. 2006. Emosi (Penjelajahan Religio-Psikologis Tentang Emosi Manusia di dalam Al- Quran).Erlangga. Jakarta. 








[1] Hude, Darwis. 2006. Emosi (Penjelajahan Religio-Psikologis Tentang Emosi Manusia di dalam Al- Quran).Erlangga. Jakarta. 

[2] Anwar, Rosihon. 2005. Psikologi dalam Al-quran. CV Pustaka Setia. Bandung (Anngota IKAPI Jawa Barat). 

[3] Written by Admin. Akal Menurut Perspektif Al-Quran & Sains. Friday, 13 March 2009 15:54
[4] Anwar, Rosihon. 2005. Psikologi dalam Al-quran. CV Pustaka Setia. Bandung (Anngota IKAPI Jawa Barat). 

[5] Anwar, Rosihon. 2005. Psikologi dalam Al-quran. CV Pustaka Setia. Bandung (Anngota IKAPI Jawa Barat). 

[6] Hude, Darwis. 2006. Emosi (Penjelajahan Religio-Psikologis Tentang Emosi Manusia di dalam Al- Quran).Erlangga. Jakarta. 
[7] DR. H. M. Hamdan Rasyid, MA. Mencerdaskan Bangsa dalam Perspektif Al-Qur'an dan As- Sunnah. 

[8] DR. H. M. Hamdan Rasyid, MA. Mencerdaskan Bangsa dalam Perspektif Al-Qur'an dan As- Sunnah. 

[9] Hude, Darwis. 2006. Emosi (Penjelajahan Religio-Psikologis Tentang Emosi Manusia di dalam Al- Quran).Erlangga. Jakarta. 

1 komentar:

  1. Assalamualaikum.
    Terima kasih atas penulisan yang diberi. Ada bahagian yang saya pasti jelas dan ada juga bahagian yang sukar saya fahami. Sungguh pun demikian saya ingin dapat izin Tuan untuk menggunakan potong-potong ayat (excerpts) dari tulisan ini bagi mengimbangi usaha motavasi yang saya lakukan. InsyaAllah punca pengambilan 'excerpt' akan pasti disebutkan.
    Di sini saya ingin berkongsi satu huraian tersendiri berkenaan perkataan 'fikir'(walaupun ianya dalam bahasa inggeris

    F ollow
    I slamic
    K nowledge
    I n
    R esolving/ easoning

    Inilah sahaja buat waktu ini.
    Selamat menyambut Issrak Mikraj.
    Jazakallahukhairan 0101-220320 Andalas

    BalasHapus