Jumat, 29 April 2016

LOGIKA PENALARAN DALAM ILMU PENGETAHUAN




LOGIKA PENALARAN DALAM ILMU PENGETAHUAN

Tugas Mata Kuliah:Filsafat ilmu dan logika
Dosen Pembimbing :Wira Sugiarto M.Pd.I

Description: Description: Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhzwY0gAJqLXuJwxNiQmdEPwC1IDltuUJCwctMa6IQUVUTgMmsDvNKQkywIZ7r8dGM3LS_IBoC0aKLkk8IJZa5woSodF9YKNfzn5R_a4cQW1WrgEoHCi2flvxN2X-0zDjWBeOJ1qZw0Lrw/s1600/COVER++STAIN.jpg

MUHAMMAD ROMSYAH

PROGRAM STUDI AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
2016 M / 1437 H




KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul LOGIKA PENALARAN DALAM ILMU PENGETAHUAN “yang merupakan salah satu tugas makalah pada semester empat.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian telah memberikan manfaat bagi Penulis. Akhir kata Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat membangun akan Penulis terima dengan senang hati.


                                                                                    Bengkalis April  2016
            
              Penulis








i


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR                                                                                                           i
DAFTAR ISI                                                                                                                          ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang                                                                                                             1
B.     Rumusan Masalah                                                                                                        1


BAB II PEMBAHASAN
a)      Pengertian logika                                                                                                        2
b)      Logika dan pengetahuan                                                                                             3
c)      Bentuk dan berfikir dan bangunan logika                                                                  4
d)     Logika dalam induktif dedukif dalam pengetahuan                                                  5
e)      Logika berfikir anatara keraguan dan kepastian                                                         7
                                                                                                                
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA










ii


BAB I
PENDAHULUAN
            1.latar belakang
 Dalam kehidupan seperti sekarang ini, setiap orang hampir setiap saat dihadapkan dengan logika dan/atau sebaliknya. Secara sederhana dipahami logika itu berpikir secara logis, atau masuk akal. Tidak sedikit kehidupan kita dan sekitar kita menyaksikan dan merasakan sesuatu yang tidak logis, baik menyangkut perihal kemasyarakatan, pemerintah­an, kebangsaan, maupun persoalan kelompok dan individu dalam ma­syarakat, tidak ketinggalan perihal di dunia pendidikan, politik, ekonomi, hingga birokrasi.
 Sesuatu yang logis biasanya akan mudah dipahami oleh nalar kita, tetapi sesuatu yang tidak logis kadang bertentangan dengan pikiran dan hati kita. Dalam banyak hal, kita sering mengalami berbagai kejadian yang kita pikir tidak logis, misalkan ada yang jelas-jelas melakukan ko­rupsi dengan uang miliaran rupiah bahkan triliunan, tapi di mata hukum kok sama dengan seorang pencuri seekor ayam. Ada juga yang sudah jelas terbukti bersalah tapi tidak bisa disentuh oleh hukum, ada juga di dunia pendidikan sudah sekolah ke jenjang tertinggi tetapi tidak ada institusi atau dinas pemerintah dan swasta yang dapat menerima dirinya untuk bekerja sehingga harus puas di terminal pengangguran. Masih terdapat sederet soal yang kadang kita hadapi secara tidak logis dalam kehidupan
2.Rumusa masalah
1.      Apa pengertian logika?
2.      Bagaimana hubungan logika dan pengetahuan?
3.      Bagaimana bentuk berfikir dan bangunan logika
4.      Bagaimana logika dalam deduktif induktif dalam pengetahuan dan berfikir keraguan dan kepastian?






BAB II
PEMBAHASAN
1.Pengertian Logika               
 Konsep "logika" atau "logis" sudah sering kita dengar dan kita gunakan. Dalam bahasa sehari-hari, perkata­an "logika" atau "logis" menunjukkan cara berpikir atau cara hidup atau sikap hidup tertentu, yaitu yang masuk akal, yang "reasonable", yang wajar, yang beralasan atau berargumen,, yang ada rasionya atau hubung­an rasionalnya, yang dapat dimengerti, walaupun belum tentu disetu­jui atau tentang benar atau salah.
 Dalam arti ilmiah, perkataan logika menunjukkan pada suatu disiplin ilmui; yang dimaksud dengan disiplin di sini yaitu disiplin ilmiah, yaitu kegiatan intelektual yang dipelajari un­tuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman dalam bidang tertentu secara sistematik-rasional argumentatif dan terorganisasi yang terkait atau tunduk pada aturan, prosedur, atau metode tertentu. Setiap disiplin mewujudkan ilmu atau cabang ilmu pengetahuan tertentu. Misalnya bio­logi, yaitu disiplin yang termasuk ilmu alam; mikrobiologi, yaitu suatu disiplin ilmu atau subdisiplin yang termasuk dalam disiplin ilmu biologi.
 Menurut Arief Sidharta (2010), kata logika sering juga digunakan un­tuk bahasa percakapan sehari-hari. Kata itu memiliki beberapa pandang­an arti dalam penggunaan secara umum, seperti "wajar", dapat diterima atau bisa juga digunakan dalam arti kultur untuk menggambarkan sikap khas suatu kelompok masyarakat.
Pengertian ini menunjukkan bahwa mempelajari logika berarti mempelajari hukum dan prinsip berpikir yang mengatur atau melandasi dan sekaligus mem­berikan alasan mengapa suatu penalaran dapat dikatakan sebagai sesu­atu yang logis dan juga menjelaskan mengapa suatu penalaran harus di­katakan sebagai tidak logis. Kedua, Norman Geisler dan Ronald Brooks (1990) mengatakan, bahwa logika yaitu kajian tentang penalaran yang benar atau menyimpulkan yang valid (sah) dan dapat mengenali adanya kesalahan berpikir baik secara formal maupun informal


2.Logika dan Pengetahuan
Socrates (469-399 SM) mengatakan ribuan tahun yang lalu, bahwa pada dasarnya manusia bersifat ingin tahu. Keingintahuan yaitu bagian dari kealamiahan manusia. Seorang anak kecil yang masih usia dini ke­tika dia bermain balok kemudian menyusun balok-balok itu menjadi suatu bangunan, akan menemui suatu logika dari permainan itu, misalnya mengapa gedung yang dibuat dari balok itu bisa roboh, lalu dia menemu­kan jawabannya sendiri "oh karena fondasi bangunan yang dia buat tidak besar, jadi tidak punya kekuatan." Lalu si anak ketika membuat bangunan gedung dengan balok kembali, dia membuat fondasi bangunan baloknya dibuat menjadi lebih besar,, agar bangunan yang dibuat tidak ambruk atau rubuh.Begtulah logika dalam ilmu pengetahuan dapat diperkenalkan pada seorang anak hingga seorang ilmuwan dapat mengembangkan logika ber­pikirnya dalam ilmu pengetahuan. Mengapa seorang anak bertanya atas perbuatannya sendiri terhadap balok-balok kayu yang dia susun, ini meru­pakan salah satu bentuk manusia yang penuh dengan rasa ingin tahu.
Juniarso Ridwan (2010) mengatakan, bahwa Socrates telah berusaha menemukan dan mengajarkan prinsip-prinsip universal tentang "keadil­an" dan "hukum yang benar." Keadilan itu sesungguhnya telah bermu­kim di dalam diri dan dalam kesadaran manusia itu sendiri "given." Un­tuk mengajarkan hal itu, ia memanfaatkan metode yang terkenal hingga sekarang yakni, "socratic method," yaitu dengan mengajukan sejumlah pertanyaan yang akan merangsang serta memperkuat para muridnya da­lam berpikir sedalam-dalamnya untuk menyiapkan makna keadilan dan hukum yang benar. Dorongan keingintahuan pada manusia muncul dari akalnya. Manu­sia yaitu makhluk yang berakal dan memiliki kesadaran akan realitas di luar dirinya. Semua yang dilakukannya tidak terlepas dari kesadaran dan akalnya itu. Ilmu pengetahuan lahir sebagai jawaban bagi keingintahuan manusia yang tidak pernah berhenti. Maka tidaklah mengherankan, jika ilmu pengetahuan yang dibangun dan diciptakan manusia akan terus berkembang selama ada kehidupan makhluk berakal budi di mana pun di Bumi.
 Ujan Andre Ata, dkk. (2012) mengatakan, akal manusia menuntun­nya pada pengetahuan. Tetapi tidak semua pengetahuan bisa begitu saja menjadi milik manusia semata-mata hanya karena akalnya semata. Karena ada jenis pengetahuan yang membutuhkan sistematika, kohe­rensi dan metode tertentu, jenis pengetahuan ini dikenal sebagai ilmu pengetahuan ilmiah, yang bisa diidentifikasikan sebagai disiplin siste­matis, metodis, rasional, dan koheren yang menyelidiki aspek tertentu dari realitas. Dalam kaitan dengan syarat-syarat ilmu pengetahuan, logika meme­gang peranan sangat penting. Logika menjadi semacam alat ukur yang harus digunakan untuk menentukan bukan saja kadar keilmiahan dalam suatu teori ilmu pengetahuan yang dirumuskan, melainkan juga validitas teori ilmu pengetahuan. Dengan latar belakang logika yang telah dike- mukakan, dapat dipahami keterkaitan dan pentingnya keberadaan logika dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan.
 3.Bentuk berfikir dan Bangunan Logika
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penalaran adalah proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan berdasarkan sejumlah informasi yang tersedia. Misalkan Anda mengetahui bahwa papa Imam ialah pemilik pabrik sawit di Jambi. Hanya berdasarkan informasi ini Anda bisa menarik beberapa kesimpulan, yaitu papa Imam itu orang kaya, dia me­miliki banyak karyawan, dia memiliki rumah mewah, dan anak-anaknya di luar negeri sekolah yang terkemuka. Kesimpulannya yang Anda tarik itu bersifat logis, karena penalaran kita mengolah informasi yang diper­oleh dan mengombinasikan dengan pengetahuan awal. Dalam arti itu, dapat dikatakan bahwa pertanyaan baru berdasarkan apa yang telah kita ketahui. Setiap penalaran memiliki struktur yang sangat sederhana, yaitu adanya pertanyaan (premis atau argumen), lalu pertanyaan itu diolah nalar sebelum menghasilkan kesimpulan. "Premis—penalaran—kesim­pulan,"
 Penalaran berangkat dari sesuatu yang sudah ada atau apa yang sudah diketahui, dari sana baru ditarik suatu kesimpulan. Apa yang sudah diketahui itu disebut premis, fakta, bukti, dasar, atau alasan. Kita tidak bisa menarik kesimpulan dari apa yang tidak diketahui. Apa yang disim­pulkan itu disebut kesimpulan (konklusi).

 4. Logika Deduktif dan Induktif Dalam Ilmu Pengengetahuan
 ilmu pengetahuan yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui prosedur yang sistematis yang disebut dengan metode ilmiah. Alur ber­pikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam bebe­rapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka ilmiah bertumpu pada logico hipotético verifikasi yang dalam penelitian bersifat positivistik yang umumnya berupa penelitian kuanti­tatif. Adapun untuk penelitian kualitatif hanya menggunakan unsur logico dan verifikasi, hal ini dikarenakan dalam penelitian kualitatif umumnya tidak melakukan uji hipotesis. Langkah-langkah menuju ilmu pengetahuan menurut metode ilmiah berbasis penelitian kuantitatif se­bagai berikut:
·         Perumusan masalah.
·         Penyusunan teori dan kerangka berpikir (logico).
·         Perumusan hipotesis.
·         Pengujian hipotesis dan verifikasi (hipotético dan verifikasi).
·         Penarikan kesimpulan.
 Itulah tahapan atau langkah-langkah metode ilmiah yang mendasari lahirnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memiliki prosedur dan metode yang ketat dibandingkan jenis pengetahuan manusia lainnya se­telah pengetahuan
Dalam tahapan metode ilmiah terkandung penalaran logika induktif dan deduktif. Ber­pikir dengan logika induktif bertujuan untuk menarik kesimpulan umum, berupa deskripsi general dari suatu fenomena. Deskripsi umum suatu fenomena ini mengandung persamaan dari yang berbeda dan berbeda dari yang sama. Hal ini diragukan bisa dalam bentuk golongan, ketegori, klasifikasi berdasarkan unsur, ciri,, dan sifat dari unit fenomena (wujud, proses, atau fungsi), yang kelak diberi nama atau istilah definisi yang ke­mudian sampai pada konsep dan variabel. Pengetahuan khusus yang ada pada logika induktif (diperoleh dengan observasi eksploratif) itu berupa deskripsi suatu fenomena (oleh jadi satu unit wujud, proses, atau fungsi) pada sejumlah situasi atau kondisi tertentu
5. Logika Berfikir Antara Keraguan dan Kepastian
 Menurut Josep Morgalis (2012), keraguan dan kepastian bukan me­rupakan hal-hal yang hanya dalam psikologis melainkan hal-hal yang logis dan konseptual. Kita bertanya-tanya bukan hanya apakah keadaan mental tertentu dapat dihindari atau diteruskan, melainkan juga apakah kepercayaan kognitif kita dapat dibenarkan dan secara relevan dibebas­kan dari tantangan. Permasalahannya, memengaruhi secara mendalam semua usaha manusia untuk pengetahuan; dan oleh karenanya menarik kita pada kompleksitas yang luar biasa dari hubungan antara keraguan dan kepastian di suatu sisi, di sisi lain pengetahuan dengan kepercayaan.
 Manusia selalu bertanya-tanya apakah mereka pernah berhak dapat melepaskan diri dari keraguan atau mencapai kepastian tentang keper­cayaan mereka. Josef memberikan pandangan, ada tiga keraguan dalam filsafat yang pada akhirnya dapat memberikan kepastian, yakni:
 Pertama, keraguan psikologis dengan kepastian psikologi. Keraguan ini meru­pakan keadaan mental yang berbeda, paling tidak yang secara nominal relevan terhadap suatu proposisi yang berlaku dalam pengertian bahwa jika p merupakan suatu proposisi yang berlaku, maka seseorang jelas ada dalam keadaan ketidakpastian bahwa p yaitu benar, atau dalam suatu ke­adaan kepercayaan yang berbeda di antara kedua ekstrem tersebut.
Kedua, keraguan logis dengan kepastian logis. Secara kontras meru­pakan apa yang disebut keadaan logis atau fungsional, dalam pengertian di mana keadaan itu tidak perlu secara psikologis diwujudkan menjadi yang relevan secara kognitif terhadap kepercayaan bahwa p benar. Mengasumsikan bahwa kita mempunyai teori komprehensif dari peristiwa dan dasar-dasar yang memberikan untuk memercayai suatu proposisi, kita seharusnya menemukan provisi dalam teori itu untuk membenarkan ker­aguan dan kepastian yang berhubungan dengan kepercayaan. Jika p be­nar dan diketahui benar, maka secara umum, keraguan yang tergantung pada kebenaran dan pengetahuan akan p harus segera relevan maupun, akan diangkat atau dihentikan.
 Ketiga, keraguan empiris dengan kepastian empiris. Paham ini me­maknakan bahwa kebenaran dari suatu proposisi aritmetik, misalnya 8 + 7 = 15 yang kita kira pasti benar. Juga tidak untuk mengatakan bahwa teori kognitif hanya berhubungan dengan menghilangkan keraguan empiris atau mencapai kepastian empiris. Karena sepenuhnya mungkin bahwa keraguan logis bisa diformulasikan bahwa tidak ada manusia perantara yang sesungguhnya merupakan ungkapan darinya seperti keraguan em­piris, atau sesungguhnya merupakan ungkapan darinya dalam suatu in­terval waktu yang ada. Akan tetapi, untuk kembali pada pembedaan keadaan empiris dari keraguan dan kepastian, kita harus mengakui suatu ketidaksimetrisan berkenaan dengan jangkauan konsep pokok dari keraguan dan kepastian. Didasarkan pada kenyataan itu, terpaksa mengharuskan kita mengadopsi keraguan itu sebagai suatu perantara rasional menuju kepastian.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan Dari berbagai teori yang telah dibahas, dapat disimpulkan bahwa kebenaran adalah kesesuaian arti dengan fakta yang ada dengan putusan-putusan lain yang telah kita akui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah atau tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia. Namun apa yang kita amati, belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja menyimpang. Karena itu kebenaran yang mutlak hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa.
Ilmu pengetahuan (sains) diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Untuk memperoleh ilmu pengetahauan, dibutuhkan adanya metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoretis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Ilmu, menyusun pengetahuan dengan konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris, ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak, sehingga melalui metode ilmiah, berbagai penjelasan teoretis dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak.












DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Erliana. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian , Bogor: Ghalia Indonesia. 2011. Komara, Endang. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Bandung: PT Refika Aditama. 2011.
Surajiyo. Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara. 2007.   Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA. 2005. Salam, Burhanuddin. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT Rineka Cipta. 1997.


















Kamis, 03 Maret 2016



MAKALAH FILSAFAT ILMU DAN LOGIKA
JUDUL: HUBUNGAN KAUSALITAS,PEMIKIRAN DAN PENJELASAN TEORI,PROBABILITAS DAN KEKELIRUAN BERFIKIR
DOSEN PENGAMPU : WIRA SUGIARTO,S.IP, M.Pd.I

DISUSUN OLEH KELOMPOK IX :
MUHAMMAD ROMSYAH
HUDRIYANTO
SULAIMAN
JAMALUDDIN


JURUSAN TARBIYAH DAN KEGURUAN
PROGRAM STUDI  PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
( STAIN ) BENGKALIS
2016 M/ 1437 H
                                                                             

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
A.    Latar Belakang............................................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah......................................................................................................... 1
C.     Tujuan Masalah............................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 2
A.    PENGERTIAN HUKUM SEBAB AKIBAT (KAUSALITAS) ............................... 2
B.     PROBABILITAS........................................................................................................ 4
C.     KEKELIRUAN BERFIKIR ......................................................................................  6
1.      KEKELIRUAN FORMAL.................................................................................... 6
2.      KEKLIRUAN NON FORMAL............................................................................. 7
3.      KEKLIRUAN PENGGUNAAN BAHASA......................................................... 10
4.      KEKLIRUAN DALAM PENALARAN KAUSALITAS.................................... 11
BAB III PENUTUP............................................................................................................ 13
Kesimpulan.......................................................................................................................... 13
Saran.................................................................................................................................... 13
Daftar Pustaka..................................................................................................................... 14













KATA PENGANTAR
Assalamu`alaikum, Wr. Wb
Puji dan syukur pemakalah ucapkan kepada Allah SWT. Karena berkat limpahan Rahmat dan Hidayah serta petunjuk-Nya, pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang “Hubungan Kausalitas,Pemikiran dan Penjelasan serta Teori,Probabilitaas dan kekeliruan Berfikir”.
Shalawat dan salam buat Nabi besar Muhammad SAW yang merupakan sosok yang dapat ditauladani dari berbagai hal kehidupan, sehingga perjalanan hidupnya dijadikan sejarah oleh manusia untuk pedoman hidup bagi umatnya.
Dan tak lupa ucapan terima kasih pemakalah kepada Dosen pembimbing dalam mata kuliah Filsafat Ilmu dan  Logika, Orang Tua yang selalu memberikan motivasi, Teman-teman, serta semua pihak yang telah mendukung dalam proses pembuatan makalah ini.
Terakhir, pemakalah sadar bahwa, banyak kekurangan dalam makalah ini, hal ini karena kurangnya sumber rujukan dan kurangnya Ilmu yang pemakalah miliki. Maka pemakalah sangat mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca yang bersifat membangun untuk makalah yang akan datang.

Bengkalis,        Februari 2016




KELOMPOK IX










BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Keyakinan manusia akan hokum kausalitas sudah ada sejak zaman kuno. Bahwa tidak ada satupun peristiwa terjadi secara kebetulan, melainkan semuanya mempunyai sebab yang mendahuluinya, dapat kita telusuri sejak peradaban manusia dalam sejarah. Bukti itu dapat kita temui pada abad kelima sebelum masehi, yaitu pada ucapan seorang Filosof Yunani Leucipos. Nihil fit sine causa (tidaka ada satupun peristiwa yang tidak mempunyai sebab). Namun demikian tidak berarti jauh sebelumnya manusia belum mengenal peristiwa sebab akibat.
Dalam hidup kita sering mengalamai hal-hal yang mungkin pernah kita alami. Dari kejadian yang pernah kita alami tersebut kadang kita bisa memberikan pandangan kepada orang lain yang sedang mengalami kejadian seperti kita dulu.
Bagi mereka yang lebih kreatif kejadian yang pernah dialaminya dimasa lalu atau bahkan kejadian yang dialami orang lain dijadikan ramalan untuk masa depan seseorang yang dipandangnya menyerupai seseorang tadi. Kadang kita dalam hidup ini perlu yakin adanya kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dikemudian hari ketika kita melakukan suatu kegiatan. Hal ini diperlukan untuk menjadikan perhatian dan pertimbangan dalam kita melankah yang kita ambil dari kejadian-kejadian sebelumnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan kausalitas?
2.      Apa yang dimaksud dengan  Probabilitas?
3.      Bagaimana Probabilitas dalam filsafat ilmu dan logika?
4.      Apa yang dimaksud dengan kekliruan Berfikir?
5.      Bagaimana kekliruan berfikir it terjadi?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui maksud dari kausalitas
2.      Untuk mengetahui Hubungan kausalitas dengan probabilitas dan kekliruan berfikir
3.      Utuk mengetahui maksud dari probabilitas dalaqmq ilmu dan logika
4.      Untuk mengetahui hubungan kausalitas dengan kekliruan  berfikir

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN HUKUM SEBAB AKIBAT (KAUSALITAS)
Prinsip kausalitas berbunyi , “Segala sesuatu membutuhkan sebab untuk meng - ada, kecuali keberadaan itu sendiri.” Sifat penting kausalitas pertama adalah keselarasan; yaitu satu sebab yang sama akan menghasilkan akibat yang sama. Selain itu adalah sifat kesemasaan sebab dan akibat, serta sifat relasi eksistensial antara sebab dan akibat. 
Prinsip kausalitas adalah hukum dasar alam. Karena tanpa menerima prinsip kausalitas sebagai hukum dasar alam, yang merupakan salah satu dari the very properties of being, tidak mungkin kita meniscayakan satu hukum apa pun yang bersifat umum bagi alam,dan dia bukanlah merupakan hasil “korespondensi” atau “penghubung-hubungan” yang dilakukan oleh rasio manusia berdasarkan pengalaman inderawinya, sebagai-mana yang dikatakan oleh sebagian orang. Karena bahkan semua pengalaman inderawi kehilangan maknanya, bahkan seluruh alam materi tidak bisa ditahkik keberadaannya tanpa menerima prinsip kausalitas dulu sebelumnya.Dan bagaimana mungkin sebagian orang tersebut menjelaskan adanya hal - hal yang berkorespondesi secara berulang - ulang tapi tidak diyakini mempunyai hubungan kausalitas. Misalnya sesudah malam datanglah siang dan sesudah siang datanglah malam. Kenapa tidak ada seorangpun yang berfikir bahwa siang adalah penyebab malam dan malam adalah penyebab siang?
Maka, mestilah diterima ke - obyektif - an prinsip kausalitas, dan meyakini bahwa prinsip ini bukanlah prinsip psikologis saja. Sehingga dengan mata kausalitas mestilah diterima adanya penyebab seluruh alam materi ini, yang pasti bukanlah alam materi itu sendiri, atau sebagian darinya, karena materi bukanlah keberadaan sehingga mesti selalu memerlukan sebab untuk mengada. Sungguh ini adalah merupakan bukti yang terang tentang adanya alam immaterial, yang sebagian orang menyebutnya alam spiritual atau alam intelligebles. [1]
“Sebab” sebagai sesuatu yang melahirkan akibat mempunyai banyak pengertian:
a.        Dilihat dari kemestian adanya:ada sebab yang mesti (necessary cause)dan sebab yang menjadikan (sufficient cause).
Sebab yang mestinya adalah suatu keadaan bila tidak ada maka akibatnya pun tidak ada.tetapi dengan adanya akibat sebab itu tidak harus terjadi.contoh:api menyebabkan adanya kebakaran rumah.tanpa adanya api kebakaran rumah tidak harus terjadi.Sedangkan sebab yang menjadikan adalah adanya sesuatu menyebabkan timbulnya akibat.tidak adanya sebab akibatpun tidak ada.atau dengan kata lain,adanya sebab adanya akibat,tidak adanya sebab tidak adanya akibat.
Contoh: adanya api menimbulkan adanya panas.jika api tidak ada maka panas pun tidak ada.contoh lain adanya lampu menyebabkan terang ruangan,maka tidak adanya lampu ruangan pun tidak terang.terbitnya matahari mengakibatkan adanya pagi.tanpa matahari terbit pagipun tidak ada.

b.      Dilihat dari jaraknya dengan akibat:ada sebab yang langsung(dekat)ada sebab yang jauh.
Yang dimaksud dengan sebab yang langsung (dekat) ialah sebab yang langsung mengakibatkan peristiwa setelah sebab itu terjadi.sedangkan sebab jauh ialah sebab yang mengakibatkan adanya peristiwa lain setelahnya tapi diselingi oleh beberapa sebab yang lain.Contoh dalam kasus dapat kita lihat berikut ini:
Tewasnya seorang mahasiswa.ia tewas ketika mobilnya berjalan dengan kecepatan tinggi ditabrak oleh mobil lain.ia mengendarai sebuah mobil.ketika lampu lalu lintas masih merah ia tetap jalan sehingga mobil yang berlawanan arah menabraknya dan sekaligus menewaskannya.mengapa ketika lampu merah ia terus berjalan ,karena ia tergesa-gesa ingin sampai ke kampus.kenapa ia tergesa-gesa,karena ia akan mengikuti ujian ,sedang hari sudah siang,ia berangkat terlambat,kenapa ia berangkat terlambat,karena malam hari ia bergadang.kenapa ia bergadang, karena belajar untuk ujian besok dan seterusnya.disini kita lihat ada beberapa sebab yang menyebabkan kematian si mahasiswa.namun kalau kita cermati ada penyebab langsung yaitu melanggar lalu lintas hingga ditabrak oleh mobil lain,sedangkan sebab jauhnya adalah mengikuti ujian.


c.       Dilihat dari akibat yang ditimbulkan.
Ada sebab yang satu menimbulkan akibat yang satu juga seperti: terlau tegangmengakibatkan pingsan, tekanan darah tinggi menyebabkan penyakit struk.dan sebagainya.
Ada juga sebab yang satu menyebabkan akibat yang banyak,contoh: kemiskinan bisa menyebabkan kelaparan, kekafiran, pencurian, kebodohan, pelacuran, dan sebagainya.Ada juga sebab yang banyak menyebabkan akibat yang satu, contoh: keracunan, tertembak, penyakit livers, sars. kesemuanya ini menyebabkan akibat yang satu yaitu kematian.[2]
B.     PROBABILITAS
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia Probabilitas adalah kemungkinan. Peluang atau kebolehjadian atau dikenal juga sebagai probabilitas adalah cara untuk mengungkapkan pengetahuan atau kepercayaan bahwa suatu kejadian akan berlaku atau telah terjadi . Secara umum Probabilitas dapat dipahami sebagai suatu nilai dari 0 s/d 1 yang menunjukkan seberapa besar kemungkinan terjadinya suatu peristiwa. Sedikitnya terdapat dua hal penting yang perlu digarisbawahi dari pengertian di atas yaitu mengenai kemungkinan (peluang) dan pengertian tentang kejadian.Suatu kejadian (event), adalah sekumpulan atau lebih dari hasil-hasil yang mungkin pada suatu eksperimen. Adapun hasil (outcome) adalah sekumpulan data yang merupakan seluruh hasil dari eksperimen. Sedangkan eksperimen (experiment) sendiri menjelaskan suatu proses yang dilakukan untuk mendapatkan hasil-hasil yang dapat diamati lebih jauh.
Membicarakan kemungkinan terjadinya sesuatu maka sama saja dengan membicarakan hal yang belum terjadi. Dalam statistika, lingkup yang membicarakan mengenai hal yang belum terjadi atau memperkirakan sesuatu yang "besar" (populasi) berdasarkan informasi dari sebagian kecil yang diambil dari sesuatu yang besar tersebut (sampel) adalah lingkup statistika inferensia.[3]
1.      Macam-macamProbabiltas.
Ada 2 macam probabilitas:
a.       Probabilitas a priori, yaitu probabilitas yang disusun berdasarkanakal, bukan atas pengalaman. Seperti untuk mengetahui peluang keluarnya mata dadu maka berpeluang 1/6, karena jumlah mata dadau ada 6.
b.      Probabilitas relative frekuensi, yaitu probabilitas yang disusun berdasarkan statistic atau fakta empiris. Disini didasarkan oleh fakta-fakta yang sering terjadi. Seperti setiap wanita berusia 26 tahun memiliki probabilitas 971 yangdapat mencapai umur 27 tahun, artinya dari 1000 wanita umur 26 tahun akan meninggal sebanyak 29 orang.
2.       Ilmu dan Probabilitas
Berdasarkan kenyataan bahwa teori generalisasi dan kausalitas bersifat probabilitas, maka ilmu-ilmu tidak pernah memberi keterangan yang pasti tentang peristiwa-peristiwa. Teori dan keterangan yang diberikannya bersifat kemungkinan. ini perlu kita sadari bahwa ilmu itu tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Ia berbeda dengan ilmu pedukunan yang berani menyatakan misalnya:”Minumlah ini, anda pasti sembuh” ilmu paling-paling menyatakan: Minumlah obat ini, kemungkinan besar anda akan sembuh”. Meskipun penjelasan yang diberikan oleh ilmu adalah penjelasan probabilitik, namun probailistik yang dapat dipertanggung jawabkan, karena ia disusun berdasarkan pengalaman.
Teori ilmu memberikan kepada kita pengetahuan sebagai dasar kita mengambil keputusan. Keputusan yang kita ambil berdasarkan keterangan keilmuwan itu, dengan memandang resiko yang bakal kita hadapi. Meskipun ramalan cuaca memberikan kemungkinan 0,8 tidak akan hujan (tidak memberikan 1,00 pasti tidak hujan), toh dari keterangan ini kita bisa mengambil keputusan. Ramalan 0,8 tidak akan turun hujan berarti ada peluang 0,2 untuk turun hujan. Bila kita hendak bepergian meskipun kita tahu ada peluang 0,2 turun hujan, toh kita tidak akan mengurungkan niat kita, karena sudah cukup bagi kita jaminan 0,8 tidak akan turun hujan. jika kita mempunyai penyakit yang bila kena air hujan akan kambuh sedemikian hebatnya, maka kita akan ragu-ragu untuk memutuskan pergi. kalaupun kita memutuskan pergi kita akan memakai jaket, payung dan alat penutup lainnya yang lebih rapat. jadi tindakan yang akan kita ambil berdasarkan resiko yang mungkin timbul dari pilihan kita berkaitan dengan probabilitas ilmu bagi kehidupan kita.[4]
C.    KEKELIRUAN BERFIKIR
Setelah kita pelajari sekian jauh tentang cara – cara berpikir benar, melalui metode deduksi dan induksi, kini kita dapat kumpulkan kekeliruan – kekeliruan berpikir yang sering terjadi.
1.      KEKELIRUAN FORMAL
a.       Menggunakan empat term dalam silogisme (Fallacy of Four Terms)
Ini terjadi karena term penengah diartikan ganda, sedangkan dalam patokan diharuskan hanya terdiri tiga term, seperti: “Semua perbuatan mengganggu orang lain diancam dengan hukuman, Menjual barang dibawah harga tetangganya adalah mengganggu kepentingan orang lain. Jadi menjual harga dibawah tetangganya diancam dengan hukuman”.
b.         Kedua term penengah tidak mencakup (Fallacy of Undistributed Middle)
Kekeliruan berfikir karena tidak satupun dari kedua term penengan mencakup, seperti: “Orang yang terlalu banyak belajar kurus. Dia kurus sekali, karena itu tentulah dia banyak belajar”.

c.       Proses tidak benar (Fallacy of Illicit Process)
Kekeliruan berfikir karena term premis tidak mencakup (undistributed) tetapi dalam konklusi mencakup, seperti: “Kura-kura adalah binatang melata. Ular bukan kura-kura, karena itu ia bukan binatang melata”.
d.       Menyimpulkan dari dua premis yang negatif (Fallacy of Two Negative Premises)
Kekeliruan berfikir karena mengambil kesimpulan dari dua premis negatif. Apabila terjadi demikian sebenarnya tidak bisa ditarik konklusi, seperti: “Tidak satupun barang baik itu murah dan semua barang di toko itu adalah tidak murah, jadi kesemua barang di toko itu adalah baik”.


e.        Mengakui akibat (Fallacy of Affirming the Consequent)
Kekeliruan berfikir dalam silogisme hipotetika karena membenarkan akibat kemudian membenarkan pula sebabnya, seperti: “Bila pecah perang harga barang-barang naik. Sekarang harga barang naik, jadi perang telah pecah”.

f.       Menolak sebab (Fallacy of Denying Antecedent)
Kekeliruan berfikir dalam silogisme hipotetika karena mengingkari sebab kemudian disimpulkan bahwa akibat juga tidak terlaksana, seperti: “Bila permintaan bertambah harga naik. Nah, sekarang permintaan tidak bertambah, jadi harga tidak naik”.

g.       Bentuk disyungtif (Fallacy of Disjunction)
Kekeliruan berfikir tejadi dalam silogisme disyungtif karena mengingkari alternatif pertama, kemudian membenarkan alternatif lain. Padahal menurut patokan, pengingkaran alternatif pertama, bisa juga tidak terlaksananya alternatif yang lain, seperti: “Dia lari ke Jakarta atau ke Bandung. Ternyata tidak di Bandung, berarti dia ada di Jakarta”. (Dia bisa tidak di Bandung maupun di Jakarta)

h.      Tidak konsisten (Fallacy of Inconsistency)
Kekeliruan berpikir karena tidak runtutnya pernyataan yang satu dengan pernyataan yang diakui sebelumnya, seperti: “Anggaran Dasar organisasi kita sudah sempurna; kita perlu melengkapi beberapa fasal agar komplit”.
2.         KEKELIRUAN NON FORMAL
a.        Kekeliruan karena membuat generalisasi yang terburu-buru
Yaitu mengambil kesimpulan umum dari kasus individual yang terlampau sedikit, sehingga kesimpulan yang ditarik melampaui batas lingkungannya.
Contoh : Dia orang Islam mengapa membunuh. Kalau begitu orang Islam memang jahat.
b.       Kekeliruan karena memaksakan praduga
Kekeliruan berfikir ini karena menetapkan kebenaran suatu dugaan.
Contoh : Dua orang berbincang dengan berbisik-bisik. Kemudian datang seorang yang hubungannya kurang baik dengan salah satu orang diantara mereka. Lalu orang yang datang itu berkata “kau memang tidak suka pada ku. Kejelekanku kau siarkan kemana-mana”. (pada dua orang tadi sedang berbincang permalahan lain)
c.       Karena mengundang permasalahan
Kekeliruan model ini karena mengambil konklusi dari premis yang sebenarnya harus dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya.
Contoh : Sudiro memang anak orang kaya, karena setiap hari kendaraannya selalu berganti. (disini orang hendak membuktikan bahwa Sudiro anak orang kaya, tanpa melihat bagaimana keadaan orang tua Sudiro).
d.        Karena menggunakan argumen yang berputar
Hal ini karena menarik konklusi dari satu premis, kemudian konklusi itu dijadikan premis sedangkan premis semula dijadikan konklusi argumen berikutnya.
Contoh : Aktifis-aktifis mahasiswa kampus X orangnya dekil, karena mereka orangnya jorok. Mengapa mereka jorok? Kemudian dijawab karena mereka aktifis mahasiwa kampus X.
e.         Kekeliruan karena berganti dasar
Kekeliruan berpikir karena mengambil kesimpulan yang tidak diturunkan dari premisnya. Jadi mengambil kesimpulan melompat dari dasar semula.
Contok : Bentuk tulisannya bagus jadi ia adalah anak yang pandai.Ia kelak akan menjadi mahaguru yang cerdas karena orang tuanya kaya.
f.         Kekeliruan karena mendasarkan pada otoritas
Kekeliruan berpikir karena mendasarkan diri pada kewibawaan atau kehormatan seseorang dipergunakan untuk permasalahn diluar otoritas ahli tersebut
contoh : Pisau cukur ini sangat baik, sebab Dedi Mizwar selalu menggunakannya. (Dedi Mizwar adalah seorang actor dan sutradara, dia tidak mempunyai otoritas untuk menilai bagusnya logam yang dipakai untuk membuat pisau cukur)
g.        Kekeliruan karena mendasarkan diri pada kekuasaan
kekeliruan berpikir karena berargumen dengan kekuasaan yang dimiliki, seperti menolak pendapat/argument seorang dengan menyatakan : “Kau masih juga membantah pendapatku. kau paru satu tahun duduk diperguruan tinggi sedang aku adalah dosenmu”.
i.          Kekeliruan karena menyerang pribadi
kekeliruan berpikir karena menolak argument yang dikemukakan seseorang dengan menyerang pribadinya.
Contoh : Dia adalah seorang yang brutal, jangan dengarkan pendapatnya.

j.         Kekeliruan karena kurang tahu
kekeliruan berpikir karena menganggap bila lawan bicara tidak bias membuktikan kesalahan argumentasinya, dengan sendirinya argumentasi yang dikemukakannya benar.
contoh : kalau kau tidak bias membuktikan bahwa aku pencurinya maka teranglah pendapatku benar, bahwa kau sendiri yang lupa menaruh dompetmu.
k.        Kekeliruan karena pertanyaan yang ruwet
kekeliruan berpikir karena mengajukan pertanyaan yang bersifat menjebak.
Contoh : Jadi anda sekarang sudah berhenti dari kebiasaan menganiaya istri anda? (padahal yang ditanya tidak pernah menganiaya istrinya). Jika ini dijawab “ya” berarti orang itu pernah memiliki kebiasaan menganiaya istrinya, Jika dijawab “tidak” berarti sampai saat ini ia masih suka menganiaya istrinya.

l.         Kekeliruan karena alasan yang sederhana
Hal ini karena berargumentasi dengan alas an yang tidak kuat atau tidak cukup bukti. Contoh :
Kendaraan buatan Honda adalah yang terbaik karena banyak peminatnya.
m.     kekeliruan karena menetapkan sifat
Kekeliruan ini karena menetapkan sifat bukan keharusan yang ada pada suatu benda bahwa sifat itu tetap ada selamanya.
Contoh : Daging yang kita makan hari ini adalah dibeli kemarin. Daging yang dibeli kemarin adalah daging mentah. Jadi kita hari ini makan daging mentah.
n.      Kekeliruan karena argumen yang tidak relevan
Kekeliruan berpikir ini karena mengajukan argumen yang tidak ada hubungannya dengan masalah pokok.
Contoh : Kau tidak mau mengenakan baju yang aku belikan. Apakah engkau mau telanjang ke perjamuanmu itu?
o.      Kekeliruan karena salah mengambil analogi
Kekeliruan berpikir karena menganalogikan dua permasalahn yang kelihatannya mirip, tetapi sebenarnya berbeda secara mendasar.
Contoh : Seniman patung memerlukan bahan – bahan dalam membuat karya – karyanya. Jadi Tuhan juga memerlukan bahan – bahan dalam menciptakan makhluk-Nya.
p.        Kekeliruan karena mengundang belas kasihan
Kekeliruan berpikir ini karena menggunakan uraian yang sengaja menarik belas kasihan untuk mendapatkan konklusi yang diharapkan.
Contoh : pembelaan penasihat hukum Gayus H.T yang menjadi tersangka dalam kasus mafia pajak. “saya sampaikan pada anda (para hakim), buka itu kepentingan Gayus tetapi menyangkut permasalahan yang panjang, ke masa yang lampau dan ke masa yang akan datang menyangkut seluruh kehidupan orang – orang yang menggantungkan hidupnya dari perusahaan – perusahaan itu. Sekali lagi saya katakan bukan untuk Gayus tetapi untuk orang-orang yang bangun pagi dan pulang malam, mengorbankan kehidupan dan kesenangan, bekerja keras demi menafkahi keluarga mereka baik secara lahir maupun batin.[5]
3.      KEKELIRUAN KARENA PENGGUNAAN BAHASA
a.         Kekeliruan karena komposisi
Hal ini karena menetapkan sifat sebagian untuk menyifati keseluruhan.
Contoh : Abdul Basyir adalah tentara, karenanya mahasiswa F. Dakwah semester 3 sangat disiplin.
b.       Kekeliruan dalam pembagian
Hal ini karena menetapkan sifat yang ada pada keseluruhannya, maka demikian juga setiap bagiannya.
Contoh: Di Perguruan Tinggi mahasiswa belajar hokum, ekonomi, politik, sejarah, sastra, teknik, kedoteran, karena itu setiap mahasiswa tentulah mempelajari semua ilmu-ilmu tersebut.
c.       Kekeliruan karena tekanan
Hal ini karena kekeliruan dalam memberi tekanan dalam pengucapan.
Contoh: Kita tidak boleh memaki-maki kawan. (maksudnya adalah tidak boleh memaki siapapun, tetapi karena tidak adanya tekanan pada “memaki-maki” maka artinya menjadi lain).
d.       Kekeliruan karena amfiboli
Hal ini karena menggunakan susunan kalimat yang dapat ditafsirkan berbeda-beda. Contoh : seorang anak muda datang kepada seorang paramal, apakah judi pertama yang akan ia ikuti nanti akan menang atau kalah. Jawaban sang peramal “anda akan mendapat pengalaman yang bagus”. Atas jawaban ini ia sangat puas dan menyimpulkan ia akan menang. Ternyata ia kalah. Waktu kembali ke tempat tukang ramal ia menanyakan mengapa ramalannya meleset, tukang ramal itu menjawab “Saya benar, sebab dengan kekalahan ini anda mendapat pengalaman yang bagus, bahwa judi itu membawa penderitaan”.
e.       Kekeliruan karena menggunakan kata dalam beberapa arti
Kekeliruan ini karena menggunakan kata yang sama dengan arti lebih dari satu.
Contoh : Gajah adalah binatang, jadi gajah kecil adalah binatang yang kecil.
4.      KEKELIRUAN DALAM PENALARAN KAUSALITAS
Kekeliruan yang sering terjadi di kalangan orang-orang yang kurang cermat berfikir adalah Post hoc propter hoc artinya suatu penalaran yang menyatakan bahwa ini terjadi sesudah itu terjadi, maka ini merupakan akibat dari itu. Dengan kata lain, suatu kekeliruan karena mengakui sesuatu yang terjadi berurutan maka peristiwa yang kedua merupakan akibat dari peristiwa pertama atau yang mendahuluinya. Kita telah mengetahui bahwa untuk membuktikan hubungan sebab akibat suatu peristiwa tentu tidak sekedar menyimpulkan bahwa peristiwa kedua merupakan akibat dari peristiwa pertama. Contoh kasar dari cara penalran ini adalah:
Kita memang sering menjumpai orang-orang bernalar Post hoc propter hoc. Contoh klasik bernalar ini dapat kita jumpai pada kisah John Stuart Mill, yang menceritakan bagaimana sekelompok penduduk menyatakan bahwa pasir apung yang terbentuk di pantai disebabkan oleh menara gereja yang didirikan disitu, mereka berkata:”Sebelum menra gereja Tenterton ini dibangun, tidak ada pasir apung di pantai. Tetapi segera sesudah menara itu dibangun, pasir apung itu muncul”.
Kekeliruan bernalar serupa, tidak saja melanda orang yang tidak terdidik, tetapi dapatjuga kita temukan di antara orang-orang yang mengecap pendidikan cukup. Ditanyakan kepada sekelompok orang, mengapa kebudayaan Romawi Yunani musnah? Sering benar mengherankan bahwa jawaban yang diberikan bukanlah atas pertimbangan hokum kausalitas yang cukup, melainkan dengan jawaban yang sederhana karena kekaisaran Romawi runtuh. Bahwa kemusnahan kebudayaan Rmawi Yunani terjadi sesudah kekaisaran Romawi benar-benar hancur, tetapi bila disimpulkan bahwa kebudayaan Romawi Yunani hancur karena runtuhnya kekaisaran Romawi ini adalah cara bernalar Post hoc propter hoc.
Kekeliruan serupa dapat kita jumpai dalamkeyakinan yang tersebar secara luas bahwa bencana-bencana yang melanda dunia sejak tahun 1918 disebabkan oleh Perang Dunia. Di Inggris, dahulu orang berkeyakinan bahwa meningkatnya kemakmuran merupakan akibat pasti dari diberlakukanya Perdagangan Bebas. Sedankan di Jerman meningkatnya kemakmuran merupakan kejadian yang mengikuti kebijakan Bea Perlindungan.
Jelas, kekeliruan ini terjadi karena melihat peristiwa yang ada secara sepintas. Untuk menentukan bahwa suatu peristiwa itu merupakan sebab bagi peristiwa lainnya tidaklah sekedar menunjuk bahwa peristiwa pertama adalah sebab dari peristiwa yang kedua. Kita harus dapat menjelaskan secara cermat bahwa kedua peristiwa itu memang mempunyai hubungan yang pasti (necessary connection). Apabila peristiwa kedua tidak mempunyai hubungan relevan dan pasti dengan peristiwa pertama, maka bertentangan dengan hokum-hukum yang telah diketahui.[6]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Dari berbagai macam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
Probabilitas adalah kemungkinan terjadinya suatu peristiwa antara 0 s/d 1
2.      Macam- macam probabilitas ada dua yaitu: Probabilitas a priori yaitu probabilitas yang disusun berdasarkan perhitungan akal, bukan atas dasar pengalaman dan Probabilitas relative frekuensi, yaitu probabilitas yang disusun berdasarkan statistic atas fakta-fakta empiris
3.      Teori generalisasi dan kausalitas bersifat probabilitas, maka ilmu-ilmu tidak pernah memberi keterangan yang pasti tentang peristiwa-peristiwa. Teori ilmu memberikan kepada kita pengetahuan sebagai dasar kita mengambil keputusan

Kini dapat kita kumpulkankan kekeliruan-kekeliruan berfikir yang sedang terjadi. Secara garis besar kita telah mempelajari ilmu logika berarti secara teoritis sudah dapat menggunakan akal kecerdasan daripada sebelumnya. Namun ada baiknya bila kita mempelajari juga kesalahan-kesalahan berpikir yang mungkin dapat kita perbuat atau mungkin diperbuat orang lain kepada kita.
Sesat pikir (fallacia, Latin atau fallacy, Inggris) ialah kekeliruan penaralan yang disebabkan oleh pengambilan kesimpulan yang tidak sahih dengan melanggar ketentuan-ketentuan logika atau susunan dan penggunaan bahasa serta penekanan kata yang secara sengaja atau tidak, telah menyebabkan pertautan atau asoiasi gagasan tidak tepat. Biasanya, sesat pikir tidak dapat segera diketahui karena sepintas lalu, tampak seolah-olah benar tetapi sesungguhnya keliru. Jika pelaku sesat pikir itu tidak menyadari akan sesat pikir yang dilakukannya, hal itu disebut paralogisme. Namun  apabila sesat pikir itu dilakukan dengan sengaja untuk menyesatkan orang lain, disebut sofisme.
B.     Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan adalah gunakanlah probabilitas ini untuk keperluan yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri atau orang banyak. Jangan sekali-kali menjadi musyrik dengan pengetahuan tentang probabilitas ini. Semua yang akan terjadi atau yang telah terjadi yakinlah itu semua telahdirencanakan oleh Allah SWT.




DAFTAR PUSTAKA
Shidik, Sapiudin. 2004. Diktat Perkuliahan Ilmu Mantiq (Logika). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Gramedia PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dr. Syahrial Syarbaini, MA, Ph.D. FILSAFAT UMUM 1
Poedjawijatna. Logika Filsafat Berpikir. Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2002
Tiam Dahri Sunardji. Buku Ajar Langkah-Langkah Berpikir Logis. Pamekasan : Stain Pamekasan Press



[1] Gramedia PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dr. Syahrial Syarbaini, MA, Ph.D. FILSAFAT UMUM 1

[2] Poedjawijatna. Logika Filsafat Berpikir. Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2002
[3] Tiam Dahri Sunardji. Buku Ajar Langkah-Langkah Berpikir Logis. Pamekasan : Stain Pamekasan Press

[4] Shidik, Sapiudin. 2004. Diktat Perkuliahan Ilmu Mantiq (Logika). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

[5] Poedjawijatna. Logika Filsafat Berpikir. Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2002

[6] Gramedia PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dr. Syahrial Syarbaini, MA, Ph.D. FILSAFAT UMUM 1